Rabu, 23 Oktober 2013

Bagaimana Metode Pengajaran Radikal Bisa Membebaskan Generasi Anak Jenius - 3/4



http://goo.gl/fPtL0m

Suatu hari Juárez Correa menuliskan di papan tulis “1 = 1,00.” Biasanya, pada poin ini, dia akan mulai menjelaskan konsep bilangan pecahan dan bilangan desimal. Namun kali ini dia hanya menuliskan “½ = ?” and “¼ = ?”
“Coba pikirkan sebentar,” katanya, dan berjalan keluar dari kelas.
Ketika anak-anak menggerutu, Juárez Correa pergi ke kafetaria sekolah, tempat anak-anak membeli sarapan dan makan siang untuk mendapatkan uang kembalian dalam nominal kecil. Dia meminjam sekitar 10 peso dalam bentuk uang koin, berharga sekitar 75 sen, dan berjalan kembali ke kelasnya, lalu membagikan satu koin senilai satu peso ke tiap meja. Dia memperhatikan bahwa Paloma telah menulis 0,50 dan 0,25 di selembar kertas. 

“Satu peso sama dengan satu peso,” katanya. “Lalu setengah peso?”
Juárez Correa merasakan keringat dingin. Dia belum pernah berhadapan dengan seorang murid seperti Paloma yang memiliki level kemampuan bawaan sejak lahir.
Awalnya sejumlah anak membagi koin-koin itu ke dalam tumpukan yang tidak sama. Hal tersebut menimbulkan perdebatan di antara para murid mengenai apa yang dimaksud dengan setengah. Pelatihan yang sudah diterima Juárez Correa memberitahunya untuk campur tangan. Namun dia ingat penelitian Mitra dan menekan dorongan tersebut. Sebaliknya, dia menonton ketika Alma Delia Juárez Flores menjelaskan kepada teman sebangkunya bahwa setengah berarti porsi yang sama. Dia menghitung sampai 50 centavos. “Jadi jawabannya 0,50” katanya. Anak-anak yang lain mengangguk karena itu masuk akal.
Bagi Juárez Correa peristiwa tersebut menegangkan sekaligus sedikit menakutkan. Di Finlandia, guru melewati pelatihan bertahun-tahun untuk mempelajari bagaimana menggubah gaya baru pembelajaran ini; tapi dia hanya dengan cepat melakukannya. Dia mulai bereskperimen dengan cara-cara berbeda mengajukan pertanyaan dengan jawaban panjang mengenai subyek-subyek dari volume kubus sampai mengalikan bilangan pecahan. “Volume sebuah prisma dengan dasar persegi merupakan bidang dasar dikalikan dengan tinggi. Volume piramida berdasar persegi adalah rumus tersebut dibagi tiga,” katanya suatu pagi. “Bagaimana menurut kalian?”
Dia berjalan mengelilingi kelas, hanya sedikit berkata. Sangat mengangumkan ketika melihat anak-anak mendekati mendapatkan jawabannya. Mereka bekerja dalam beberapa tim dan memiliki contoh (peraga) beberapa bentuk untuk diamati dan dimainkan. Salah satu tim diketuai oleh Usiel Lemus Aquino, seorang anak laki-laki yang tidak terlalu tinggi dengan ekspresi yang penuh harapan, mendapatkan ide menggambar beberapa macam bentuk – prisma dan piramida. Dengan  memberikan lapisan di atas tiap-tiap gambar, mereka mulai menentukan jawabannya. Juárez Correa membiarkan anak-anak berbicara dengan bebas. Kelas terdengar ramai, sedikit gaduh – benar-benar kebalikan dengan jejnis kelas disiplin ala-pabrik yang diharapkan oleh para guru lainnya. Tapi dalam waktu 20 menit, mereka telah menemukan jawaban mereka.
“Tiga piramida bisa membentuk satu prisma,” Usiel mengamati, berbicara atas nama kelompoknya. “Jadi volume sebuah piramida pastinya adalah sebuah prisma yang dibagi tiga.”
Juárez Correa dibuat sangat terkesan. Tetapi dia lebih dibuat tergugah oleh Paloma. Selama banyak eksperimen yang dilakukannnya, guru ini memperhatikan bahwa dia hampir selalu memberikan jawaban secara langsung. Terkadang dia menjelaskan beberapa hal kepada teman sebangkunya, di lain waktu dia menyimpan jawabannya sendiri. Tak ada seorangpun yang memberitahunya bahwa dia memiliki sebuah bakat yang tidak biasa. Bahkan ketika guru memberikan pertanyaan yang sulit kepada kelas mereka, dia dengan cepat memberikan jawaban. Untuk menguji batas kemampuannya, Juárez Correa menantang kelas tersebut dengan sebuah soal/pertanyaan yang diyakininya akan membuat Paloma tidak bisa menjawab. Dia menceritakan kisah Carl Friedrich Gauss, seorang ahli matemaika terkenal dari Jerman yang lahir di tahun 1777.
Ketika Gauss masih bersekolah SD, salah satu gurunya meminta kelasnya untuk menambah setiap bilangan dengan angka di antara 1 dan 100. Seharusnya dibutuhkan waktu satu jam, namun Gauss nyaris mendapatkan jawabannya secara langsung.
“Ada yang tahu bagaimana dia melakukannya?” tanya Juárez Correa.
Beberapa murid mulai mencoba menambahkan angka-angka dan tak lama kemudian menyadari bahwa mereka akan membutuhkan waktu lama untuk melakukannya. Paloma, bekerja bersama dengan kelompoknya, dengan seksama menulis beberapa urutan bilangan dan melihat urutan itu beberapa saat. Kemudian dia mengangkat tangannya.
“Jawabannya 5.050,” katanya. “Ada 50 pasang bilangan 101.”
Juárez Correa merasakan bulu kuduknya meremanng. Dia tidak pernah bertemu dengan seorang anak dengan bakat/kemampuan bawaan dari lahir. Dia segera mendekati muridnya itu dan bertanya kenapa dia tidak terlalu memperlihatkan minatnya pada matematika sebelum-sebelumnya, karena Paloma sangat pintar dalam mata pelajaran ini.
“Karena tak ada yang membuatnya menarik,” jawab Paloma.
Sistem pendidikan kita didasarkan pada era industri. Sistem ini lebih menjunjung nilai ketepatan waktu, kehadiran dan sikap tenang/diam di dalam kelas selama pelajaran.
Kesehatan ayah Paloma semakin memburuk. Meskipun dia mengalami demam dan sakit kepala, dia tetap bekerja. Akhirnya dia harus dibawa ke rumah sakit, karena kondisinya semakin memburuk. Pada tanggal 27 Februari 2012 beliau meninggal dikarenakan kanker paru-paru.  Pada kunjungan terakhir Paloma sebelum ayahnya meninggal, anak perempuan itu duduk di samping ayahnya dan menggenggam tangan orang tua tersebut. “Kamu gadis pintarl,” kata ayahnya. “Terus belajar dan buat ayah bangga.”
Paloma tidak masuk sekolah selama empat hari guna melaksanakan proses pemakaman. Teman-temannya bisa melihat bahwa dia terlihat putus asa, namun Paloma berusaha mengubur kesedihannya. Dia ingin mewujudkan harapan ayahnya. Dan gaya pengajaran baru Juárez Correa dengan memberikan tantangan-tantangan yang sangat membentu anak-anak merupakan tempat perlindungan baginya. Ketika gurunya tersebut membeirkan lebih banyak kontrol, Paloma mengambil lebih banyak tanggung jawab bagi pendidikannya sendiri. Juárez Correa mengajari anak-anak tentang demokrasi dengan membuat mereka memilih ketua kelas dan bagaimana memutuskan bagaimana mereka akan mengatur kelas mereka lebih disiplin. Anak-anak memilih lima perwakilan, termasuk Paloma dan Usiel. Ketika ada dua murid laki-laki saling dorong-mendorong dalam sebuah permainan, para perwakilan mendengus mereka, dan permasalahan itu tidak pernah terulang lagi.

Bersambung ...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Menjadi Instruktur

Pengalaman berikutnya sejak pandemi tepatnya mulai 13 Oktober 2020, saya diajak mas Aye - menjadi instruktur pengajar praktik guru penggerak...