Rabu, 12 September 2012

[KLIPING] Tragedi Pendidikan

Oleh Sidharta Susila
Sumber : http://edukasi.kompas.com/read/2012/09/10/15301522/Tragedi.Pendidikan

KOMPAS.com - Ada ironi nan pilu dalam pendidikan kita. Kemasygulan ironi itu berulang dan kian mengabaikan martabat pendidikan. Terbayangkankah guru memperlakukan siswanya seperti barang tak berjiwa? Hal itu dilakukan hanya demi kepentingan guru. Beginikah nasib pendidikan ketika uang begitu memobilisasi dinamika pendidikan?

Riwayat pendidikan kita diwarnai sejarah uang (gaji). Sampai lahirnya era Reformasi, gaji guru, khususnya guru PNS, demikian kecil. Reformasi telah membalikkan nasib guru, khususnya guru PNS. Pemerintah terus menaikkan gaji guru dan memberikan beragam tunjangan.

Niat meningkatkan kesejahteraan guru itu mulia. Sayang, begitu banyak guru yang belum selesai dengan dirinya. Kepahitan hidup panjang karena gaji kecil membuat mereka demikian dahaga uang. Jiwa mereka kian kerontang ketika panggilan jiwa sebagai pendidik nihil. Guru hanyalah sebuah pekerjaan.

Ketika pemerintah terus menaikkan gaji dan memberikan beragam tunjangan, mereka tergagap-gagap hingga mabuk. Mereka tak lagi berpijak kukuh karena nihilnya panggilan jiwa sebagai pendidik. Pengabdian dengan menjadi guru menjadi tema usang dan bahan olok-olokan.

Pada gelora nafsu meraup uang inilah sejumlah guru berubah karakter dari abdi menjadi budak. Abdi itu pemuja kehidup- an yang memuliakan martabat diri. Pilihan sikap dan tindakannya diorientasikan memuliakan kehidupan dan martabat diri. Orientasi hidup abdi adalah investasi jangka panjang.

Budak adalah kebalikannya. Sikap dan tindakan budak hanya untuk kepentingan jangka pendek lagi egoistis. Budak hanya akan bekerja bila tahu akan segera mendapat hasil/untung untuk dirinya. Budak tak peduli kalaupun pilihan sikap dan tindakannya menghancurkan martabat dan kehidupan.

Perilaku membudak (uang) ini tercecap pada kasus pembocoran soal ujian, proyek buku, dan pembangunan pengadaan fasilitas pendidikan yang amburadul, memberikan jasa manipulasi nilai, atau memecah jumlah kelas di sekolahnya demi memenuhi tuntutan minimal proyek sertifikasi. Juga ketika mereka terus menambah kelas dengan menerima sebanyak-banyaknya siswa tanpa seleksi agar mencapai target minimal jumlah mengajar untuk tuntutan sertifikasi. Tak peduli cara ini dilakukan di tengah sekolah-sekolah kecil miskin yang kian sekarat.

Ini tragedi pendidikan. Niat awal meningkatkan kesejahteraan agar guru kian bermartabat kini justru telah menjadi proses perbudakan (guru) yang justru menghancurkan martabat serta kehidupan.
Peran negara

Negara tak bisa terus membiarkan dinamika pendidikan semacam ini. Guru itu lentera, penyuluh kehidupan. Ia hanya bisa jadi pencerah kehidupan bila dari kedalaman jiwanya terpendar terang. Itu terjadi ketika hidupnya dijangkarkan pada panggilan jiwanya sebagai pendidik.

Tak dimungkiri bahwa untuk hidup, guru membutuhkan pendapatan layak. Namun, hidup guru tak boleh berangkat dari situ. Pemerintah pun tak boleh terus membiarkan uang (gaji, tunjangan) demikian memesona bahkan memobilisasi pendidikan. Pertama, uang bisa membikin seseorang haus tak terpuaskan. Apalagi ia yang belum selesai dengan dirinya. Pendidikan yang dimobilisasi uang kian menyandera nurani guru. Mereka berubah dari abdi pendidikan menjadi budak uang.

Kedua, ternyata tak cukup niat baik menyejahterakan guru dengan terus meningkatkan gaji-tunjangan. Penerapan kebijakan itu telah membuat sejumlah guru sekolah bertindak tunanurani. Demi meraup uang, mereka tak peduli nasib sekolah sekitar. Kita bertanya masygul, di manakah tanggung jawab serta panggilan jiwa mereka mencerdaskan bangsa? Di mana pula solidaritas mereka dengan nasib sesama guru di sekolah sekarat/mati itu? Meraup rakus murid demi memenuhi target proyek sertifikasi telah mengubah realitas sekolah dari komunitas pemuja kehidupan yang cerdas menjadi gerombolan berseragam.

Ketiga, dinamika pendidikan yang dimobilisasi uang dalam praksisnya terbukti membuat perilaku sejumlah guru kian liar dan tunamoral, serta efektif membikin sekarat hingga mematikan sekolah-sekolah kecil. Kalau pemerintah membiarkan kondisi ini, niat awal meningkatkan martabat kehidupan lewat pendidikan berubah menjadi proses sistematis oleh negara yang membunuh sejumlah sekolah di negeri ini.

Inilah tragedi pendidikan sekaligus kejahatan keji negara berselimut kebijakan. Jangan biarkan nasib negeri ini dipertaruhkan dengan gegabah dan murah.

Sidharta Susila (Pendidik; Tinggal di Muntilan)

1 komentar:

  1. Seperti saya seorang guru yang tahu pasti didepan mata segala bentuk penyimpangan dalam dunia pendidikan, benar-benar terpukul nurani saya. Tapi semua diluar kemampuan saya. Maka hanya dengan berdoa saja, meski menurut hadis nabi adalah selemah-lemahnya iman. Mari bersama berdoa, agar kita diberi kekuatan menghadapi setiap cobaan dalam hidup ini! Amin
    http://aguspurnomosite.blogspot.com/

    BalasHapus

Menjadi Instruktur

Pengalaman berikutnya sejak pandemi tepatnya mulai 13 Oktober 2020, saya diajak mas Aye - menjadi instruktur pengajar praktik guru penggerak...