Rabu, 14 Desember 2011

[KLIPING] Tak Ada Kedewasaan Instant

by Mohammad Fauzil Adhim on Wednesday, December 14, 2011 at 8:04pm
 
Makanan dan minuman boleh instant. Tanpa bersusah meracik, setiap orang bisa membuat mie dengan rasa yang sama. Tak ada bedanya kopi bikinan anak kecil dengan hasil seduhan orang dewasa. Sebabnya, mereka sama-sama pakai kopi instant. Tanpa perlu memahami karakter kopi, setiap orang bisa menghidangkan kopi dengan rasa yang cukup enak di lidah karena bahannya instant. Tetapi, samakah kopi instant dengan kopi yang diracik secara khusus oleh koki berpengalaman? Sangat berbeda. Sebagaimana berbeda sekali nilai dan harga sebuah jam tangan yang dibuat oleh tangan seorang ahli yang terampil dan berpengalaman dengan arloji pabrikan yang dalam waktu sehari bisa memproduksi ratusan dan bahkan ribuan keping.

Tak ada kecerdasan instant. Apalagi kedewasaan. Kita mungkin bisa menjadikan seorang anak tiba-tiba tampak hebat karena mampu menggambar, menulis atau membaca dengan mata tertutup. Tetapi sangat berbeda kemampuan menebak, menginderai dan mengenal dengan kemampuan mencerna, memahami, memikirkan dan mengembangkan sebuah konsep. Hari ini, banyak orangtua yang bersibuk-sibuk menjadikan anaknya tampak hebat, tetapi lupa membangun pilar kehebatan itu sendiri.

Sesungguhnya, taraf kemampuan kognitif anak bertingkat-tingkat secara hierarkis. Dan pendidikan berkewajiban mengantarkan setiap anak agar mampu mencapai taraf kognitif yang setinggi-tingginya. Taraf paling rendah adalah pengetahuan. Ini merupakan kemampaun untuk mengetahui, mengenal dan mengingat apa-apa yang sudah ia pelajari. Ia bisa mengulang kembali dan menyampaikan kepada orang lain. Di negeri ini, pelajaran di kelas dan ujian di sekolah kerapkali hanya menakar kemampuan kognitif terendah, yakni pengetahuan.

Berbagai teknik atau trik yang banyak diperkenalkan (lebih jelasnya: dijual) kepada masyarakat umumnya sebatas membantu anak mencapai kemampuan kognitif terendah. Bukan mengembangkan kemampuan berpikir. Lebih-lebih cara berpikir, umumnya hampir tak tersentuh. Tetapi inilah yang paling mudah kita lihat: atraksi kebolehan dan demonstrasi yang menunjukkan perubahan cepat luar biasa. Karena terpukau, kita kemudian kehilangan daya berpikir kritis tatkala para trainer itu mengatakan bahwa trik-trik tersebut membangun karakter anak! Padahal yang dimaksud bukan karakter.
Yang dimaksud hanyalah sebatas kemampuan kognitif. Paling jauh keterampilan sosial yang bernama sopan santun.

Sungguh, sopan santun sangat berbeda dengan karakter. Sebagai keterampilan, sopan santun merupakan bagian dari kecakapan sosial. Sementara karakter lebih banyak berkait dengan kualitas personal pada diri seseorang. Karakter bermula dari kesadaran terhadap nilai-nilai (bukan sekedar tahu atau bahkan paham), partisipasi atau kesediaan untuk menerapkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan sehari-hari, penghayatan nilai, pengorganisasian nilai dan barulah kemudian sampai pada tingkat karakterisasi diri. Yang dimaksud dengan penghayatan nilai adalah kemampuan untuk menerima nilai dan terikat kepadanya. Sedangkan pengorganisasian nilai merupakan kemampuan untuk memiliki sistem nilai dalam dirinya. Sampai pada tingkat ini, karakter masih belum terbentuk. Karakterisasi baru terjadi apabila seseorang telah mampu memilih nilai sebagai gaya hidup (life style) dimana sistem nilai yang terbentuk mampu mengawasi tingkah lakunya.


Jadi, ada proses panjang sebelum terbentuk dalam diri seseorang. Ia bukan sekedar keterampilan. Ia merupakan perwujudan nilai-nilai yang mempengaruhi pikiran, cara pandang, penghayatan dan gaya hidup kita. Ia menjadi penakar dalam menentukan sebuah tindakan terkait dengan patut atau tidak, mulia atau hina. Ia berangkat dari kesadaran. Bukan pengetahuan. Kesadaran merupakan tingkat terendah dari kemampuan afektif. Sedangkan tingkat terendah kemampuan kognitif adalah pengetahuan (knowledge). Ini berarti, sekedar pintar tak berpengaruh pada karakter.
Setingkat di atas pengetahuan adalah pemahaman (understanding). Pada tingkat ini –tingkat terendah kedua dalam kemampuan kognitif—anak mengerti dengan baik apa yang dipelajari. Kemampuan ini bukan semata karena anak belajar, tetapi karena pendidik memang memahamkan. Bukan sekedar menyampaikan sejelas-jelasnya sehingga anak mengingat dengan baik dan mampu menyampaikan kembali secara gamblang. Pendidik perlu secara serius merangsang kemampuan berpikir anak sehingga mereka memahami dengan baik apa yang diterangkan.

Yang perlu kita catat, pemahaman tidak berpengaruh terhadap perilaku. Pemahaman baru akan bermanfaat menuntun dan mengarahkan perilaku anak-anak kita jika mereka telah menghayati nilai-nilai agama ini dengan baik. Sangat berbeda, menghayati dengan memahami.

Itu pula yang menerangkan mengapa anak yang telah memahami baik-buruknya sesuatu, tidak berubah perilakunya. Kecerdasan mempengaruhi kemampuan mengingat, mencerna dan memahami sesuatu. Sedangkan keyakinan mendorong orang untuk menggunakan seluruh kemampuannya agar bisa melakukan apa yang telah menjadi keyakinannya, meskipun bertentangan dengan pemahamannya.

Kembali pada jenjang-jenjang kemampuan kognitif. Setingkat di atas pemahaman adalah penerapan (aplikasi), yakni kemampuan menggunakan hal-hal yang telah dipelajari untuk menghadapi situasi-situasi baru dan nyata. Ini bukan berurusan dengan keyakinan. Ini erat kaitannya dengan kecakapan untuk menerapkan apa yang telah ia ketahui. Shalat misalnya. Anak bisa melakukan shalat dengan sangat baik bukan karena yakin dan suka, tetapi karena ia memahami betul tata-cara shalat yang baik.

Jenjang kemampuan berikutnya adalah analisis. Berbekal pemahaman yang baik dan mendalam atas berbagai pengetahuan yang telah ia dapatkan sekaligus (pernah) ia praktikkan, seseorang bisa mencapai kemampuan analisis. Ia  mampu menjabarkan sesuatu menjadi bagian-bagian sehingga struktur organisasinya dapat dipahami. Jika kemampuan ini berkembang lebih lanjut, ia akan sampai pada taraf kognitif yang lebih tinggi, yakni sintesis. Ini merupakan kemampuan memadukan bagian-bagian menjadi keseluruhan yang berarti. Ia mampu menemukan benang merah berbagai pengetahuan yang berserak menjadi satu kesatuan yang utuh dan bermakna.

Tingkat tertinggi kemampuan kognitif adalah penilaian. Bukan menilai orang dari apa yang tampak, melainkan kemampuan memberikan penilaian terhadap sesuatu berdasarkan yang ditetapkan terlebih dahulu, baik bersifat internal maupun eksternal. Di tingkat inilah seseorang mencapai tingkat pemahaman yang mendalam. Kemampuan ini barangkali lebih dekat dengan makna faqih. Bukan sekedar faham. Dan amat sedikit orang yang mencapai kemampuan ini. Lebih-lebih sekolah –begitu pula orangtua—lebih banyak menyibukkan diri untuk memacu kemampuan kognitif terendah, yakni pengetahuan atau paling jauh pemahaman. Kita sudah cukup bangga jika anak mengingat dengan baik, mampu menirukan secara sempurna dan menerangkan secara gamblang pelajaran yang telah mereka terima. Kita telah menganggap jenius anak-anak yang hanya menggunakan kemampuan kognitif terendah.

Wallahu a’lam bish-shawab.


Cerdas & Terampil Belum Mencukupi
Apakah anak-anak sudah cukup berharga jika mereka mencapai kemampuan kognitif yang tinggi? Cerdas saja tidak cukup. Alangkah banyak anak-anak yang cerdas tetapi miskin keterampilan. Lalu, apakah cerdas dan terampil telah cukup untuk membekali mereka meraih sukses? Jangankan untuk akhirat. Sukses dunia pun tak cukup hanya berbekal cerdas dan terampil. Bahkan kejeniusan pun tak menolong mereka.

Mari kita ingat sejenak salah satu jenius besar yang pernah lahir di muka bumi. Namanya William James Sidis. Bapaknya –seorang profesor—adalah pengagum besar William James, tokoh psikologis behaviorisme yang yakin betul bahwa pembiasaan merupakan kunci terpenting pendidikan. Sejak usia 6 bulan, ayahnya telah mengajarkan kepadanya huruf-­huruf sesuai urutan abjad. Sesudah itu, ayahnya mengajarkan ilmu bumi, ilmu ukur, ilmu tubuh manusia, dan bahasa Yunani berdasarkan buku ajar yang dipakai di sekolah. Hasilnya, usia 5 tahun William James Sidis telah mampu menyusun karya ilmiah tentang anatomi. Kejeniusannya berkembang sehingga pada usia 11 tahun ia telah menjadi mahasiswa di Harvard University dan usia 14 tahun telah mampu memberi kuliah.

Tetapi kecerdasan tanpa kemampuan mengelola diri, tak cukup untuk membuatnya bahagia. Ia kemudian melarikan diri dari lingkungan yang mengelu-elukannya. Ia lebih memilih menjadi buruh cuci piring di sebuah restoran karena kecerdasan tak bisa membuatnya bahagia.

Sesungguhnya ada tiga potensi manusia yang berbeda-beda tingkat kemudahannya membentuk. Yang paling sulit adalah karakter, sesudah itu motivasi dan yang paling mudah adalah kemampuan kognitif serta keterampilan. Jika seseorang memiliki karakter yang kuat, mudah baginya untuk memperoleh kemampuan kognitif maupun keterampilan yang tinggi. Dan inilah yang harus kita perhatikan saat mereka belia. Inilah yang menjadi perhatian di berbagai belahan bumi yang menghargai betul arti sumber daya insani.

Bagaimana dengan Anda?

Source: http://www.facebook.com/notes/mohammad-fauzil-adhim/tak-ada-kedewasaan-instant/270946032954532

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Menjadi Instruktur

Pengalaman berikutnya sejak pandemi tepatnya mulai 13 Oktober 2020, saya diajak mas Aye - menjadi instruktur pengajar praktik guru penggerak...