Kamis, 03 November 2011

Battle Hymn of The Tiger Mother - Amy Chua


Membaca buku ini, mengingatkan saat kecil saya dulu. Kira-kira usia 3-4 tahun saya sudah dipaksa belajar membaca dan menulis oleh ibu saya. Ibu Asia, walau keturunan campuran Cina dan Belanda. Jika tulisan halus saya salah, maka melayanglah cubitan di paha. Sampai paha saya ungu-ungu. Belum isak tangis saya kalau nggak bisa nulis huruf a di buku tulis halus, saya harus melakukannya hampir sepanjang hari sepulang sekolah. Satu huruf a latin untuk satu halaman buku tulis halus..susaaaahnya bukan main.
Belum lagi setiap hari minggu ada guru ngaji yang datang ke rumah. Dilarang nonton TV, dan harus belajar ngaji, untung guru ngajinya baik hati dan suabar, kalau saya capek, saya boleh istirahat melihat TV. Dan tentu saja ibu tidak tahu hal ini.

Amy Chua memang sosok ibu Asia, melihat caranya mendidik Louisa dan kakaknya Sophia adalah hal yang biasa di wilayah Asia, saya bahkan pernah melihat ibu asli China yang mengurung anaknya di kamar untuk belajar. Iya sih nilainya selalu bagus dan akhirnya masuk ITB, tapi sesudah itu apa?...

Saya malah berpikir, apakah perilaku kekerasan atas nama kedisiplinan, juga pemaksaan untuk belajar, les, ikut bimbel supaya no 1 di sekolah merupakan perilaku asli pendidikan ala Asia ya?...

Buku Amy ini enak sekali dibaca, ringan, menyenangkan dan mudah dipahami. Saya jadi lebih paham mengenai gaya China mendidik anak, anjing Samoyed-Coco, juga tentang biola dari buku ini.

Pada jurnal-jurnal yang pernah saya baca mengenai kontroversi buku ini, banyak yang tidak memahami bagaimana seorang ibu tega memaksa anaknya untuk berlatih piano dan biola sepanjang hari, walau hari libur sekalipun, tega mengeluarkan kata-kata menyakitkan seperti “kau sampah”, “tak tahu berterima kasih” dan banyak lagi kata-kata menyakitkan, tidak boleh melakukan kegiatan yang disukai, tidak boleh menginap di rumah teman, tidak boleh nonton TV, tidak boleh memainkan alat music selain piano dan biola, juga semua nilai harus A sempurna.
Amy Chua  mampu mengorbankan dirinya, dan akan melakukan apapun yang terbaik untuk anaknya walau keluarga dan seisi dunia membencinya.

Mungkin karena saya orang Indonesia atau orang Asia, melihat cara Amy mendidik anak bukan suatu hal yang istimewa atau aneh. Yang membuatnya terasa aneh karena saya membacanya di tahun ini, dimana banyak informasi dari buku-buku yang sudah saya baca, dan juga dari artikel Ki Hajar Dewantoro, buku Sekolah itu Candu Roem Topatimasang, Toto-Chan, teori otak dan lain sebagainya, yang kemudian membuat saya berpikir bagaimana karakter hasil bentukan Amy Chua ini.

Menurut buku ini, kedua anak Amy Chua merupakan sosok yang baik hati dan suka membantu, mereka “terlihat” nakal dan tidak patuh terutama Louisa karena ingin membalas sakit hati mereka kepada Amy Chua ibu mereka.

Satu hal yang pasti disini terlihat, betapapun “kejam”nya si ibu macan, tapi dia cinta tanpa syarat kepada kedua anaknya. Masa kecil saya yang penuh kekerasan dari Ayah dan cubitan serta omelan dari Ibu, tidak membuat saya marah dan benci kepada beliau berdua, karena entah darimana, saya tahu mereka melakukannya karena cinta

Nah lho---tapi kalau saya sendiri si gak begitu bernafsu dengan nomor 1 atau rangking satu, atau cepet bisa baca dan lain-lain. Saya lebih senang dengan semuanya bagus, semuanya bisa, belajar bersama, tidak ada yang unggul karena semua unggul. Tinggal lakukan saja yang terbaik dan sepenuh hati, rezeki Allah nggak akan kemana kok, dan saya termasuk orang yang lebih puas jika maju bersama-sama, dan berhasil bersama-sama… J

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Menjadi Instruktur

Pengalaman berikutnya sejak pandemi tepatnya mulai 13 Oktober 2020, saya diajak mas Aye - menjadi instruktur pengajar praktik guru penggerak...