Selasa, 29 November 2011

[KLIPING] MENGAJAR ANAK MEMBACA, MENULIS, DAN MENGEJA

dari sudut ilmu perkembangan anak*

dr. Susan R. Johnson, FAAP
diterjemahkan oleh Ellen Kristi

* pernah dimuat secara bersambung dalam e-magazine Sekolah Rumah
 *sumber gambar: sudewi2000.wordpress.com


Gemar mambaca, bocah-bocah di Setulang Malinau-Kaltim   
PENGANTAR DARI PENERJEMAH

Tak bisa dipungkiri, di era global yang serba kompetitif ini banyak orangtua yang rela melakukan apa saja agar anaknya lebih unggul dibanding rekan-rekan sebaya, crème de la crème. Salah satu ukuran yang populer dipakai untuk menilai kehebatan anak adalah kemampuan baca-tulis. Barangkali itu sebabnya kurikulum baca-tulis yang dulu baru diajarkan di tingkat Sekolah Dasar, sekarang sudah jadi pelajaran wajib di jenjang Taman Kanak-kanak (TK), bahkan Kelompok Bermain (KB).

Tetapi, apakah betul asumsi bahwa semakin dini anak belajar baca-tulis semakin cerdas kelak ia di masa depan? Atau sebaliknya, mencekoki anak dengan pelajaran formal terlalu dini justru berbahaya? Berikut ringkasan penuturan dari pakar perkembangan dan perilaku anak, dokter Susan Johnson, yang layak dicermati para orangtua.


Bagian I - Sistem Proprioseptif

Apakah anak Anda tidak bisa duduk tenang, selalu bergeliat-geliut di kursinya, melilitkan kakinya ke kaki bangku, mengetuk-ngetukkan jari di meja, dan sebagainya? Apakah anak Anda sering terbangun sepanjang tidur malamnya, mencari-cari kontak fisik dengan orangtua sebelum bisa lelap kembali? Jika ya, berarti kemungkinan besar sistem proprioseptifnya belum matang.
Sistem proprioseptif adalah kemampuan seorang anak untuk mengetahui keberadaan tubuhnya dalam ruang. Anak dengan sistem proprioseptif yang telah berkembang bisa merasakan keberadaan anggota-anggota tubuhnya tanpa harus melihat atau menggerakkan mereka. Kematangan sistem ini bisa diuji antara lain dengan melihat apakah seorang anak bisa berdiri stabil di atas satu kaki dengan mata terpejam.

Kematangan sistem proprioseptif sangat erat kaitannya dengan kemampuan untuk duduk tenang dan memusatkan perhatian. Selama tujuh tahun awal kehidupannya, otak anak masih harus memetakan lokasi otot, tendon, dan sendi-sendi di seluruh tubuh. Itu sebabnya saat disuruh duduk, ada saja bagian tubuh si anak yang bergerak-gerak supaya otak tidak kehilangan jejak keberadaannya. Sayang, di sekolah, anak yang tidak mampu duduk tenang seperti ini bisa langsung dicap sebagai penderita ADD (Attention Deficit Disorder).

Senin, 21 November 2011

SAYA GURU NGGAK NORMAL...\(^.^)/...

Seperti yang telah diketahui, saya membuat perjanjian dengan anak-anak, anak-anak yang tidak mood belajar boleh beristirahat di luar kelas asal tidak mengganggu kelas lain, dan yang mau betul belajar bersama saya tinggal di dalam kelas.
Perjanjian ini berjalan sejak kurang lebih tengah awal semester yang lalu atau sekitar 4 bulan ini...
Setiap saya masuk kelas, hanya ada anak 10-15 anak dari 36 anak yang ada artinya nggak ada separuh yang ada di dalam kelas dan sungguh-sungguh ingin mengikuti pelajaran saya.

Parahnya satu ketika saya lupa tepatnya hari sabtu tanggal 19 Nov kemarin--saya lupa kalau saya nih guru nggak normal...
Saya saat itu terbeban oleh ulangan akhir semester yang semakin dekat, juga materi yang belum semua tersampaikan... jadi muncul juga ego saya, "plis deh, tidak menyenangkan kah belajar dengan saya". Saya tinggalkan kelas begitu saya tahu hanya ada 10 anak yang berada di situ. Bete gak sih..

Alhamdulillah saya punya anak dan teman yang mengingatkan begini kata nya di status FB saya:
Uyab Fajar Gakcukangangguur MuUpint qta 2 dunx buk, bukan bermakcd begItU bu,tmen2 tdi tU mengIra BHwa peratUran yg di buat ibuk masIh berlaku,
(yg mau blajar silahkan ke kelas, yg lg gak muUt blajar silahkan keluar,)
gtU kan buk,


kemudian temen se ide 
Irmayanti Nugraha imho, sejauh apa mba lea percaya pada metode 'belajar-itu-hanya-karena-suka-dan-perlu' ini.
sejauh apa anak-anak mengerti konsekuensi metode ini dan bertanggung jawab atas keputusannya tanpa menyusahkan pihak lain.
dan sejauh mana metode ini ditoleransi pihak manajemen ketika diterapkan.

kalo hal2 di atas cukup kat, jangan ragu melangkah. semangat!!!!



Hari ini, saya masuk kelas itu lagi, saya sampaikan permintaan maaf saya ke anak-anak, saya sampaikan juga konsekuensi atas pilihan yang mereka ambil baik di kelas dan juga di wall group FB mereka *karena ada sekitar 7 anak yang sengaja tidak di kelas saya hari ini
halloo boleh sekali nggak ikut pelajaran bu amel, tapi konsekuensi atas pilihan ini ditanggung sendiri ya....misalnya nggak paham tentang all about Economics.... Ginthienk Sadhega Pradita, Kukuh IngIen'cetiia, Handan Ardiyanto, OunChi Itu Alie, komaruddin, bayu setiawan, bagas dan semua anakku yang ganteng..
Karena menurut saya, hidup itu pilihan semua orang bebas memilih apa yang ingin dilakukan dalam hidupnya namun, mereka harus siap dan bertanggungjawab dengan konsekuensi yang mungkin terjadi atas apapun pilihan mereka.
Hari ini giliran anak-anak tutorial ke kelompoknya masing-masing dengan pertanyaan penuntun dari saya, maksudnya, anak-anak yang mood minggu kemarin sekitar 15an anak tadi, menjelaskan ke anak lain apa yang saya sampaikan minggu lalu, dengan menjawab pertanyaan penuntun dari saya. Saya beritahukan ke mereka, bahwa pekerjaan itu tidak ada nilai angkanya dan tidak dikumpulkan, jadi boleh mengerjakan boleh tidak tergantung kebutuhan mereka.
Amazing, hampir semua anak yang ada di kelas mau mengerjakan, anggota kelompok mau bertanya dan tutornya dengan senang hati menjelaskan. 
Alhamdulillah, saya nggak perlu memberi hukuman, buat yang bolos atau terlambat masuk kelas, seperti yang sempat disarankan oleh teman-teman guru saya yang lain.
Harapannya sih tetep pada tujuan awal, mereka mau belajar karena memang mereka senang dan butuh untuk tahu... :)
I'm so proud of you guys... love u so much, SEMANGAATTT...(^.^)/..
 
 

Senin, 14 November 2011

[KLIPING] Lincoln’s Letter to his Son’s Teacher


He will have to learn, I know, (Dia akan harus belajar aku tahu)
that all men are not just, (bahwa tidak semua orang adil)
all men are not true. (bahwa tidak semua orang jujur)
But teach him also that (Tetapi ajar dia juga)
for every scoundrel there is a hero; (untuk setiap orang yg kejam dan tidak berprinsip ada pahlawan)
That for every selfish Politician, (untuk setiap politikus yg egois)
there is a dedicated leader… (ada pemimpin yang berdedikasi)
Teach him for every enemy there is a friend, (Ajar dia bahwa untuk setiap musih ada teman)


Steer him away from envy, (Arahkan dia jauh dari kecemburuan)
if you can, (apabila kamu bisa)
teach him the secret of (ajar dia rahasia dari)
quiet laughter. (kegembiraan yang tak terdengar)
 

Let him learn early that (Biarkan dia belajar di usia muda bahwa)
the bullies are the easiest to lick… (pengejek itu paling mudah menjilat)
 

Teach him, if you can, (Ajar dia, bila kau bisa)
the wonder of books… (Kehebatan buku......)
But also give him quiet time (Tetapi juga beri dia waktu tenang)
to ponder the eternal mystery of birds in the sky, (untuk memikirkan misteri abadi dari burung2 di langit)
bees in the sun, (lebah di matahari)
and the flowers on a green hillside. (dan bunga-bunga di bukit hijau.)
 

In the school teach him (Di sekolah ajar dia)
it is far honourable to fail (lebih baik kalah dengan terhormat)
than to cheat… (daripada curang)
 

Teach him to have faith (Ajar dia untuk memiliki keyakinan)
in his own ideas, (dalam ide2nya sendiri,)
even if everyone tells him (meskipun setiap orang memberitahunya)
they are wrong…(ide2nya salah)
 

Teach him to be gentle (Ajar dia menjadi lembut)
with gentle people, (dengan orang yang lembut)
and tough with the tough. (Dan keras dengan orang yang keras)

Try to give my son (Coba beri anakku)
the strength not to follow the crowd (kekuatan untuk tidak mengikuti kebanyakan)
when everyone is getting on the band wagon… (ketika setiap orang menaiki band wagon)
 

Teach him to listen to all men… (Ajar dia untuk mendengar semua orang...)
but teach him also to filter (tetapi ajari dia juga untuk menyaring)
all he hears on a screen of truth, (semua yg didengarnya di atas layar kebenaran)
and take only the good (dan mengambil hanya yang baik)
that comes through. (dari semua yang datang)
 

Teach him if you can, (Ajari dia kalau kamu bisa,)
how to laugh when he is sad… (bagaimana tertawa ketika dia sedih...)
 

Teach him there is no shame in tears, (Ajari dia tidak ada rasa malu dalam air mata,)
 

Teach him to scoff at cynics (Ajar dia untuk mengejek mereka yang berbuat sesuatu hanya untuk dirinya)
and to beware of too much sweetness… (dan supaya dia berhati-hati atas kemanisan yang kebanyakan)
 

Teach him to sell his brawn (Ajar dia untuk menjual kekuatannya)
and brain to the highest bidders (dan otaknya kepana penawar tertinggi)
but never to put a price-tag (tetapi JANGAN PERNAH menaruh label harga)
on his heart and soul. (di hati dan jiwanya)
 

Teach him to close his ears (Ajar dia untuk menutup telinganya)
to a howling mob (terhadap gerombolan yang menggonggong)
and to stand and fight (dan berdiri dan melawan)
if he thinks he’s right. (apabila dia pikir dia benar)
 

Treat him gently, (Perlakukan dia dengan lembut)
but do not cuddle him, (tetapi jangan menimangnya,)
because only the test (karena hanya dengan proses)
of fire makes fine steel. (api baja yang bagus dapat dibuat)
 

Let him have the courage (Biarkan dia memiliki keberanian)
to be impatient… (Untuk menjadi tidak sabar)
let him have the patience to be brave. (biarkan dia memiliki kesabaran untuk menjadi berani)
 

Teach him always (Ajar dia selalu)
to have sublime faith in himself, (untuk memiliki keyakinan yang tertinggi pada dirinya)
because then he will have (karena dengan itu maka dia akan memiliki)
sublime faith in mankind. (keyakinan tertinggi dalam umat manusia)
 

This is a big order, (Ini adalah perintah yang besar)
but see what you can do… (tetapi lihatlah apa yang kamu bisa lakukan...)
He is such a fine little fellow, (Dia itu adalah anak kecil yang begitu baik)
my son! (anakku!)
 

~ Abraham Lincoln

Thanks for Dhitta Puti dan Ines Setiawan for remind me this..:)

Minggu, 13 November 2011

[KLIPING] Pendidikan dan Kolektivitas untuk Bumiputera

Pendidikan dan Kolektivitas untuk Bumiputera (BI Purwantari, Kompas, Sabtu, 19 November 2005)

Tiap-tiap Orang djadi Guru; tiap-tiap Rumah djadi Perguruan! Demikian bunyi semboyan yang tertulis dalam salah satu artikel di dalam buku berjudul Karja Ki Hadjar Dewantara, bagian I, Pendidikan yang diterbitkan oleh Madjelis Luhur Persatuan Taman Siswa pada tahun 1962. Di bawahnya, tertulis judul artikel mobilisasi intelektuil nasional untuk mengadakan wajib belajar.

Semboyan ini, seperti diungkapkan oleh Ki Hajar Dewantara, menganjurkan suatu gerakan mobilisasi untuk belajar bagi seluruh rakyat Hindia Belanda. Mobilisasi intelektuil yang dimaksud di sini adalah mengerahkan seluruh sumber daya manusia yang ada untuk memberi pengajaran kepada anak-anak bumiputera. Anjuran ini merupakan cita-cita pendiri perguruan Taman Siswa itu untuk memajukan pendidikan rakyat bumiputera di negeri kolonial Belanda.
Dalam sejarah Indonesia, Ki Hajar Dewantara yang juga dikenal sebagai Suwardi Suryaningrat adalah pejuang yang bergerak memerdekakan bangsanya melalui pemajuan pendidikan dan pengajaran rakyat bumiputera. Perhatian terhadap persoalan pendidikan digelutinya selama masa pembuangan di negeri Belanda.

Setelah pulang ke Tanah Air, ia mendirikan perguruan Taman Siswa, sebuah lembaga pendidikan yang merupakan bentuk kritiknya atas sistem pendidikan kolonial. Berbeda dengan sistem kolonial, sistem pengajaran di Taman Siswa bertujuan meninggikan derajat rakyat terjajah dan membentuk jiwa kebangsaan Indonesia. Tujuan ini menjadikan gagasan-gagasan pendidikan Ki Hajar dan Taman Siswa khususnya sebagai bagian gerakan rakyat Hindia Belanda menentang kolonialisme.

Harmoni dan Among
Buku dengan ketebalan mencapai 557 halaman ini, merupakan buku kumpulan 116 tulisan Ki Hajar Dewantara tentang pendidikan yang pernah diterbitkan oleh surat kabar, majalah, ataupun pernah dibacakan sebagai pidato selama kurun waktu tahun 1928 hingga tahun 1954. Artikel-artikel ini ditulis dalam bahasa Melayu, Belanda, dan Jawa. Untuk keperluan penerbitan, artikel berbahasa Belanda dan Jawa juga diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Buku ini sendiri merupakan buku pertama dari dua buku lainnya yang berisi kumpulan tulisan Ki Hajar. Buku kedua berisi kumpulan tulisan mengenai kebudayaan sedangkan buku ketiga tentang politik, jurnalistik, dan kemasyarakatan.

Gagasan Ki Hajar tentang pendidikan dikelompokkan menjadi tujuh bab di dalam buku ini yaitu bab tentang pendidikan nasional, politik pendidikan, pendidikan kanak-kanak, pendidikan kesenian, pendidikan keluarga, ilmu jiwa, ilmu adab, dan bahasa. Tiap bab berisi antara 8 sampai 39 judul artikel, dengan jumlah artikel terbanyak dalam kelompok bab tentang politik pendidikan. Memang, gagasan Ki Hajar Dewantara tentang pendidikan tak bisa dilepaskan dari konteks politik pendidikan yang berlaku pada masa tersebut yaitu politik pendidikan kolonial.

Jumat, 11 November 2011

Mengapa mesti pake kekerasan si?....


Quote Kemerdekaan Belajar on FB : Sebelum kita memukul, menghina atau menghukum anak-anak karena tidak mengerti apa yang kita ajarkan, lihat gambar berikut. Sering kali anak tidak mengerti karena kita melakukan hal berikut ini
Saya sungguh tidak bisa memahami Guru yang dengan sadar melakukan kekerasan terhadap muridnya walau dengan maksud yang positif. Apa sebetulnya yang melatarbelakangi

Sejak awal menjadi guru tahun 2001 sampai sekarang saya masih biasa
 memukuli siswa, membentak siswa, dan bahkan sengaja mempermalukan siswa di
hadapan kelas. Semua saya lakukan bukan karena benci atau dendam, apalagi dengki, tetapi karena bentuk perhatian saya terhadap diri siswa. Perlakuan  terhadap mereka dilakukan dengan ketulusan kasih sayang, bahwa yang saya  perlakukan bukan dirinya atau kepribadiannya tapi kesalahan yang dia telah lakukan. Dengan berjalannya waktu, mereka tumbuh dan berkembang menjadi  remaja dan bahkan dewasa ternyata mereka yang menyapa, sangat hormat, peduli terhadap saya adalah mereka yang sewaktu diajar selalu mendapat  perhatian melalui perlakuan saya tadi. Mereka yang pintar, baik, sopan dan santun, ternyata kerap kali malah tak lagi ada sapaan pada gurunya.
 Anehnya, kondisi ini hampir dirasakan oleh semua teman guru di sekolah. Padahal secara teoritis, perlakuan kita agak melenceng dari kondisi ideal. Kesimpulan beberapa teman saya, bukan perlakuan yang jadi masalah bagi anak, tapi caranya memperlakukan anak. Bukan pada apa yang kita ucapkan  pada anak, tapi bagaimana cara kita mengucapkannya. Bukan pada perlakuan  memukul anak, tapi bagaimana cara kita memukul anak. Tanpa menyangkal bahwa  memang kita sebagai guru kadangkala pun melakukan kekhilafan dalam  persoalan itu.

Terus lagi

Saya merasa tidak menyesal dengan melakukan kekerasan terhadap siswa saya selama ini, karena semua saya lakukan dengan sadar. Artinya, saya melakukannya dengan "terencana dan terukur" dalam situasi tertentu. Ini pengakuan yang jujur bahwa saya sampai saat ini saya masih melakukannya. Meski sadar dalam teori psikologi pendidikan yang saya gunakan "J.W. Santrock & P. Edgen" tidak sesuai dengan tindakan saya, tapi kadangkala ada memang situasi yang tidak bisa diatasi oleh teori, karena teori pun dibuat berdasarkan pola yang bersifat umum. artinya ada hal spesifik yang juga harus ditangani secara khusus. Kalau anak yang tidak bisa lagi mengikuti pola pendidikan yang kita tetapkan, lantar harus dikembalikan ke orang tua, itu bisa menjadi solusi bagi guru/sekolah tp jelas bukan solusi bagi anak....!!! tepatnya, itu tanda frustasi guru/sekolah terhadap si Anak. He...heeee.......!! Maaf, saya tidak pernah setuju mengeluarkan anak dari sekolah. Kalau guru yang harus menggunakan perlakuan fisik termasuk "pemukulan" harus dihentikan sebagai guru, berapa banyak guru Indonesia yang harus dihentikan???? Santai saja bozz......!!!

Jika sama-sama tujuannya menjadi anak yang baik, mengapa harus dengan kekerasan, jika banyak cara yang bisa ditempuh tanpa kekerasan.
Menurut saya butuh sikap dan cara berpikir positif menghadapi setiap murid, sehingga apapun masalah yang terjadi, kita dapat menyelesaikannya dengan enak dan nyaman.

Tahun ini saya jadi wali kelas, menurut para guru yang mengajar di kelas saya, murid-murid walian saya adalah murid paling sulit dikendalikan. Iya sih mereka terutama  murid laki-laki yang jumlahnya 13 anak dari total 24 anak itu—ada yang sering bolos tidak masuk sekolah atau hanya pada jam tertentu saja, sering terlambat masuk kelas, main hp di saat pelajaran, tidur di kelas, ramai di kelas, pacaran, merokok, lompat pagar, dan sulit disuruh nurut—ada sekitar 6 anak yang seperti itu. Hampir setiap hari di awal semester lalu, bermacam laporan guru masuk di hp saya atau saat bertemu langsung…..

Namun menurut saya, anak-anak walian saya itu semua baik kok, tidak ada yang mencuri, dan memfitnah teman.

Oke tapi sekolah sudah punya peraturan—saya katakan pada anak-anak saya, jika mereka masih ingin berada di sekolah ini, mereka mau tidak mau harus taat aturan yang ada. Kalau tidak mendingan homeschooling saja, nanti saya bantu daftar ke diknas jika ingin ujian paket C, toh ujian paket C juga bias kuliah—apa sih yang dicari, kalau ada cara gampang kenapa mesti susah-susah, sampai dibela-belain bolos, telat, tidur di kelas, dimarah-marah guru sampai ada yang ditempeleng.

Tidak ada anak yang memilih opsi kedua itu, semua masih ingin belajar disekolah. Oke waktu berjalan laporan itu tetap ada, bukannya berkurang malah bertambah—bahkan 6 anak itu bolos semua saat pelajaran tertentu.

Saya ajak mereka ngobrol, maunya gimana, menurut mereka saya sebagai wali kelas harus bersikap bagaimana—akhirnya karena laporan sudah masuk BP, mereka diminta untuk menulis surat pernyataan permintaan maaf terhadap guru tersebut, dan berjanji tidak bolos lagi.

Kamis, 10 November 2011

Masuk Koran...

Don't know how my expression should be..
Karena berturut-turut karya saya terpilih sebagai karya terbaik tingkat nasional, maka sekolah "merasa" perlu memberi apresiasi, dengan memuatnya di surat kabar daerah--*sembari beriklan--karya-karya itu dua diantaranya saya sajikan di blog ini bisa di download, diaplikasikan di kelas di mana saja.. ini karya yang menang tahun lalu http://www.docstoc.com/docs/document-preview.aspx?doc_id=58226196, untuk yang tahun ini ada disini http://untukanakbangsa.blogspot.com/2011/10/menumbuhkan-smart-financial-melalui.html
Suara Merdeka Edisi Selasa, 9 November 2011

Ada sedikit kecewa dengan pemberitaan yang kurang pas, tapi okelah, setelah saya renungkan, yang penting tersampaikan juga keinginan saya untuk paling tidak meyakinkan para guru dan masyarakat bahwa pembelajaran itu bisa sangat menyenangkan, bervariasi dan tidak mahal.

Ketika saya membawakan workshop beberapa waktu lalu mengenai model-model pembelajaran, saya mengajak para guru untuk menciptakan sendiri model pembelajaran yang pas dan sesuai dengan materi yang diajarkan, tidak perlu berpatokan dengan model baku yang ada, tidak perlu berpatokan dengan buku Mel Siberman, karena menurut saya model pembelajaran akan lebih mengena dan mendalam serta mudah dipahami jika kita mengkreasikannya sendiri.

Model pembelajaran yang diciptakan harus mempertimbangkan karakter murid-murid yang ada di kelas, setiap anak memiliki karakter dan potensi yang berbeda, sehingga model pembelajaran yang kita ciptakan harus mampu mengakomodasi karakter kelas juga murid-muridnya, jadi model pembelajaran di satu kelas belum tentu pas dengan kelas yang lain, perlu sedikit modifikasi.

Selamat berkreasi..!!





Kamis, 03 November 2011

Battle Hymn of The Tiger Mother - Amy Chua


Membaca buku ini, mengingatkan saat kecil saya dulu. Kira-kira usia 3-4 tahun saya sudah dipaksa belajar membaca dan menulis oleh ibu saya. Ibu Asia, walau keturunan campuran Cina dan Belanda. Jika tulisan halus saya salah, maka melayanglah cubitan di paha. Sampai paha saya ungu-ungu. Belum isak tangis saya kalau nggak bisa nulis huruf a di buku tulis halus, saya harus melakukannya hampir sepanjang hari sepulang sekolah. Satu huruf a latin untuk satu halaman buku tulis halus..susaaaahnya bukan main.
Belum lagi setiap hari minggu ada guru ngaji yang datang ke rumah. Dilarang nonton TV, dan harus belajar ngaji, untung guru ngajinya baik hati dan suabar, kalau saya capek, saya boleh istirahat melihat TV. Dan tentu saja ibu tidak tahu hal ini.

Amy Chua memang sosok ibu Asia, melihat caranya mendidik Louisa dan kakaknya Sophia adalah hal yang biasa di wilayah Asia, saya bahkan pernah melihat ibu asli China yang mengurung anaknya di kamar untuk belajar. Iya sih nilainya selalu bagus dan akhirnya masuk ITB, tapi sesudah itu apa?...

Saya malah berpikir, apakah perilaku kekerasan atas nama kedisiplinan, juga pemaksaan untuk belajar, les, ikut bimbel supaya no 1 di sekolah merupakan perilaku asli pendidikan ala Asia ya?...

Buku Amy ini enak sekali dibaca, ringan, menyenangkan dan mudah dipahami. Saya jadi lebih paham mengenai gaya China mendidik anak, anjing Samoyed-Coco, juga tentang biola dari buku ini.

Pada jurnal-jurnal yang pernah saya baca mengenai kontroversi buku ini, banyak yang tidak memahami bagaimana seorang ibu tega memaksa anaknya untuk berlatih piano dan biola sepanjang hari, walau hari libur sekalipun, tega mengeluarkan kata-kata menyakitkan seperti “kau sampah”, “tak tahu berterima kasih” dan banyak lagi kata-kata menyakitkan, tidak boleh melakukan kegiatan yang disukai, tidak boleh menginap di rumah teman, tidak boleh nonton TV, tidak boleh memainkan alat music selain piano dan biola, juga semua nilai harus A sempurna.
Amy Chua  mampu mengorbankan dirinya, dan akan melakukan apapun yang terbaik untuk anaknya walau keluarga dan seisi dunia membencinya.

Mungkin karena saya orang Indonesia atau orang Asia, melihat cara Amy mendidik anak bukan suatu hal yang istimewa atau aneh. Yang membuatnya terasa aneh karena saya membacanya di tahun ini, dimana banyak informasi dari buku-buku yang sudah saya baca, dan juga dari artikel Ki Hajar Dewantoro, buku Sekolah itu Candu Roem Topatimasang, Toto-Chan, teori otak dan lain sebagainya, yang kemudian membuat saya berpikir bagaimana karakter hasil bentukan Amy Chua ini.

Menurut buku ini, kedua anak Amy Chua merupakan sosok yang baik hati dan suka membantu, mereka “terlihat” nakal dan tidak patuh terutama Louisa karena ingin membalas sakit hati mereka kepada Amy Chua ibu mereka.

Satu hal yang pasti disini terlihat, betapapun “kejam”nya si ibu macan, tapi dia cinta tanpa syarat kepada kedua anaknya. Masa kecil saya yang penuh kekerasan dari Ayah dan cubitan serta omelan dari Ibu, tidak membuat saya marah dan benci kepada beliau berdua, karena entah darimana, saya tahu mereka melakukannya karena cinta

Nah lho---tapi kalau saya sendiri si gak begitu bernafsu dengan nomor 1 atau rangking satu, atau cepet bisa baca dan lain-lain. Saya lebih senang dengan semuanya bagus, semuanya bisa, belajar bersama, tidak ada yang unggul karena semua unggul. Tinggal lakukan saja yang terbaik dan sepenuh hati, rezeki Allah nggak akan kemana kok, dan saya termasuk orang yang lebih puas jika maju bersama-sama, dan berhasil bersama-sama… J

Menjadi Instruktur

Pengalaman berikutnya sejak pandemi tepatnya mulai 13 Oktober 2020, saya diajak mas Aye - menjadi instruktur pengajar praktik guru penggerak...