Jumat, 30 September 2011

Kenapa dipukul guru diem aja si???


Kenapa dipukul guru diem aja si???..langsung visum dan lapor polisi--guru juga manusia gak usah takut...--kalian bukan binatang, binatang aja gak bisa diperlakukan seenaknya...
Kalian anak-anak dibawah 18 tahun dilindungi Undang-Undang kok...
UU No. 23 tahun 2002 Pasal 16 Ayat 1 tertulis: Setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari sasaran penganiayaan, penyiksaan, atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi.
Didasari atas keprihatinan, yang terjadi di sekitar kita, tentang anggapan bahwa mendidik harus dengan disiplin yang ketat tanpa dasar yang jelas. Bahwa anak-anak harus menjalani hukuman, ketidaknyamanan, intimidasi, diskriminasi atas hal yang sangat wajar menurut kacamata mereka dan aneh serta menyimpang menurut kacamata guru.
Ki Hajar Dewantara, bagaimanapun juga guru seharusnya ngemong dan among, pendidikan adalah daya upaya untuk memajukan budi pekerti dan pikiran, menjadikan anak-anak kita menjadi manusia yang bahagia, bijaksana, berjiwa besar, berakhlak mulia, apapun profesi mereka kelak
Mendidik tidak memaksa, kita hanyalah fasilitator bagi mereka, anak adalah pembelajar sejati, serahkan mereka pada alam, mereka akan menemukan diri mereka sendiri.
Perlunya kesadaran akan konsep pendidikan, diharapkan akan merubah paradigma pendidikan kolonial yang masih banyak digunakan di sekolah-sekolah dan di anut oleh guru yaito penekanan pada perintah, hukuman dan ketertiban (regering, tucht, orde)
Didalam masyarakat kita saat ini, masih banyak anggapan  bahwa anak adalah komunitas kelas bawah. Mereka adalah pribadi lemah yang seolah sepenuhnya harus berada di bawah kendali kekuasaan orang dewasa, sehingga berakibat orang tua pun merasa berhak melakukan apa saja terhadap anak, karena anak lahir bagaikan kertas putih, maka kekuasaan ada di tangan orang tua.
Pengertian sempit dan paradigma keliru ini terus berkembang sehingga banyak diajarkan baik di rumah maupun di sekolah, bahwa anak-anak harus menurut sepenuhnya kepada orangtua, guru atau orang dewasa lain. Mereka sama sekali tidak boleh membantah, mengkritik, apalagi melawan, tanpa adanya penjelasan secara terperinci dalam situasi bagaimana hal itu seharusnya dilakukan. Pandangan demikian akhirnya terus berkembang dan sering membuka peluang terhadap berbagai tindak kekerasan, penindasan dan perlakuan salah terhadap anak karena kuasa orang tua dianggap sebagai suatu hal yang wajar. Seolah-olah mendidik anak memang harus dilakukan dengan kekerasan. (Seto Mulyadi, 2006)
Padahal anak-anak yang banyak mendapatkan tindak kekerasan, cenderung mengimitasi kekerasan tersebut, disamping anak-anak tersebut pun akan mengalami berbagai gangguan kejiwaan yang kelak mengganggu proses tumbuh kembang mereka secara optimal. Apabila pendidik menginginkan munculnya pribadi-pribadi unggul di masa depan, semua harus berani bertindak mulai sekarang yaitu menyerukan kepada pendidik dan orang tua untuk menghentikan berbagai kekerasan terhadap anak atas nama pendidikan. Pendidikan adalah tidak identik dengan kekerasan; bahwa pendidikan adalah tidak sekedar memberikan instruksi atau komando, tetapi memberikan hati kita yang sarat dengan cinta dan kasih sayang. (Diane Tillman, 2002)

Lingkungan sekolah yang penuh perhatian dan asuhan juga terbukti telah mengurangi perilaku kekerasan dan menciptakan sikap positif terhadap cara belajar  anak-anak.(Riley, 2000)
Ada diantara pendidik yang memandang sekolah sebagai suatu tempat yang serius untuk belajar dan jarang sekali menganggapnya sebagai tempat untuk menikmati kegiatan belajar dan menanggapi apa yang dibutuhkan dan ingin dipelajari oleh anak-anak dengan senang.
Mendidik yang berhasil adalah jika anak-anak tersebut bisa jadi manusia yang bahagia, bijaksana, berjiwa besar, berakhlak mulia, orang yang "baik", apapun profesinya. (AS Neil, 1971)
Menurut Ki Hajar Dewantara, pendidikan adalah daya upaya untuk memajukan budi pekerti, pikiran dan fisik seseorang, beliau menekankan adanya harmoni, yaitu suatu keadaan persatuan yang selaras. Pengajaran yang diberikan kepada anak-anak tidak bersifat paksaan, bahkan perilaku memimpin kadang tidak perlu dilakukan.
Perilaku kekerasan sering disebut juga bullying. Menurut Riauskina, Djuwita, dan Soesetio (2005) mendefinisikan school bullying sebagai perilaku agresif yang dilakukan berulang-ulang oleh seorang/sekelompok yang memiliki kekuasaan, terhadap kelompok lain yang lebih lemah, dengan tujuan menyakiti orang tersebut. Namun tidak menutup kemungkinan bullying dilakukan oleh guru sebagai seseorang yang memiliki kekuasaan terhadap anak-anak nya seseorang yang lebih lemah.
Perilaku bullying dikelompokkan ke dalam 5 kategori:
1.      Kontak fisik langsung (memukul, mendorong, menggigit, menjambak, menendang, mengunci seseorang dalam ruangan, mencubit, mencakar, juga termasuk memeras dan merusak barang-barang yang dimiliki orang lain)
2.      Kontak verbal langsung (mengancam, mempermalukan, merendahkan, mengganggu, memberi panggilan nama (name-calling), sarkasme, merendahkan (put-downs), mencela/mengejek, mengintimidasi, memaki, menyebarkan gosip)
3.      Perilaku non-verbal langsung (melihat dengan sinis, menjulurkan lidah, menampilkan ekspresi muka yang merendahkan, mengejek, atau mengancam; biasanya diertai oleh bullying fisik atau verbal).
4.      Perilaku non-verbal tidak langsung (mendiamkan seseorang, memanipulasi persahabatan sehingga menjadi retak, sengaja mengucilkan atau mengabaikan, mengirimkan surat kaleng).
5.      Pelecehan seksual (kadang dikategorikan perilaku agresi fisik atau verbal).
Tahun 2008, saya melakukan penelitian dengan responden murid SMA sejumlah 88 murid yang hasilnya adalah 95,5% responden yang menyatakan tidak menyutujui cara guru mendisiplinkan anak-anak, ketika ditanya bagian mana yang membuat mereka tidak setuju, 100% menyatakan tidak menyukai cara kekerasan, keluhan yang ditulis anak-anak antara lain:
1.      "Mereka tidak setuju jika guru memberi hukuman yang berlebihan dan ini hanya membuang waktu saja. Apalagi kalau harus dihukum sampai berjam-jam, membuat siswa stress karena harus melaksanakan hukumannya,. Malah bisa jadi siswa dendam sama guru itu, selain membuang waktu juga membuang energi, siswa jadi lemas di kelas, karena energinya sudah dipakai untuk hukuman fisik, apalagi kalau guru itu sampai memukul, bikin siswa tambah jengkel, hanya menambah dosa saja. Sekolah kita sekolah Islam, semestinya guru lebih tahu dosa, tidak perlu kekerasan. Siswa sudah tahu kok kalo salah. Apalagi kalo soal terlambat, guru terlambat aja tidak di apa-apain, masak siswa terlambat sampai kayak gitu. Guru tidak mengerti masalah siswa, kadang dijalan siswa banyak rintangan, entah jalan macet, ketilang dan lain-lain. Padahal kita sudah jauh-jauh ke sekolah tapi malah jadi susah di sekolah. Apalagi sekolah kita dekat dengan jalan raya, jadi dilihat dari luar kan membuat tercemar nama baik sekolah, karena orang-orang menganggap bahwa sekolah itu jelek, dan akhirnya orang tua ogah-ogahan menyekolahkan anaknya. Menurut saya remaja itu memang lagi fase membuat keonaran, tapi itu semua karena remaja mau lebih kreatif aja". (Azizah, siswa kelas XII)
2.      "Cara guru mendisiplikan siswanya terlalu keras, mereka memukul, menendang ataupun kekerasn lainnya untuk menertibkan muridnya, apakah tidak ada cara yng lain? Apakah orang tua murid menyekolahkan anaknya hanya untuk menjadi korban kekerasan guru?". (Zahri, siswa kelas XII)
3.      "Saya pernah melihat teman saya ditendang oleh salah seorang guru, dan itu sangat merugikan teman saya walau dia memang salah, namun siatu tidan kekerasan akan mengakibatkan anak tersebut mengalami tekanan mental dan ketidaknyamanan dalam pembelajaran" (Hidayat, siswa kelas XII)
4.      Mereka tidak menyetujui kekerasan, seperti mengatai goblok, bodoh, dasar pemalas, menendang, memukul, dilempar, jalan jongkok, push up, lari dan semua hukuman lainnya. Menurut mereka tanyakan dahulu alasannya, dan hukuman tidak mesti dengan kekerasan. Hukuman-hukuman itu membuat mereka lelah dan tidak dapat mengikuti pelajaran dengan baik.
5.      Orang tua mereka saja tidak pernah memukul, namun di sekolah malah dipukul guru
6.      Anak-anak keberatan jika sepatu atau barang-barang mereka seperti sweeter, jaket, ikat pinggang disita dan seringnya tidak dikembalikan. Karena mereka membeli barang tersebut atas ijin orang tua yang sudah bersusah payah mencarikan uang.
7.      Anak-anak menuntut hak mereka untuk memperoleh pendidikan, karena mereka sudah membayar SOP yang mahal di sekolah ini.
8.      Anak-anak ingin merasa nyaman, tentram dan damai tanpa ancaman berada di sekolah ini
9.      Anak-anak ingin lebih bebas dalam mengembangkan diri dan berekspresi tanpa ancaman.
10.  Anak-anak merasa malas pergi ke sekolah, jika di sekolah saja mereka merasa tidak nyaman, tertekan dan takut.
11.  Anak-anak ingin merasa di sayangi, dicintai dan dihargai, karena mereka juga manusia.
Dalam UU No. 23 tahun 2003 Pasal 16 Ayat 1 yang juga dilanggar tertulis: Setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari sasaran penganiayaan, penyiksaan, atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi.
Pasal 3 dikemukakan bahwa, "perlindungan anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusian, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia dan sejahtera". Dalam pasal 1 ayat 1 disebutkan bahwa "anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan".
Dalam Konvensi Hak Anak, tercatat ada dua hal yang dilanggar oleh terjadinya bullying. Undang-undang yang pertama adalah Undang-Undang Pasal 16 Ayat 1 yang berbunyi: Tidak seorang anakpun dapat dikenai campur tangan sewenang-wenang atau tidak sah mengenai kehidupan pribadi, keluarga, rumah tangga, atau hubungan surat menyuratnya, ataupun diserang secara tidak sah nama baiknya. Undang-undang ini tampaknya merujuk kepada bullying jenis mental. Dimana sindiran, penyerangan nama baik, dan hal-hal lain yang disebutkan dalam undang-undang tersebut digunakan sebagai alat bullying. Ayat selanjutnya dari pasal ini memberi semacam petunjuk apabila undang-undang ayat satu dilanggar: Anak berhak atas perlindungan hukum terhadap campur tangan/serangan seperti tersebut di atas. Tentunya, ayat ini seolah memberi peringatan bagi para penindas bahwa jalan hukum dapat ditempuh apabila terjadi bullying.
Permasalahan kedisiplinan yang terjadi di Sekolah, dapat diatasi dengan syarat mutlak: guru, pegawai dan kepala sekolah harus terintegrasi menjadi tim yang solid. Memiliki visi yang sama yaitu mendidik anak-anak Sekolah menjadi manusia-manusia yang unggul, berkualitas, berakhlak mulia dan sejahtera. Termasuk didalamnya adalah anak-anak dapat memiliki perasaan menghargai, menyayangi, mencintai dan mau memahami keadaan orang lain.
Guru seharusnya berpikir positif terhadap anak-anaknya, tidak menghakimi anak didiknya sebagai anak yang bodoh, karena input yang jelek. PAHAMI dan YAKINI bahwa TIDAK ADA anak-anak Sekolah yang bodoh, menurut Howard Gardner, 1983, dalam teorii multiple intelegences, kecerdasan seseorang dibagi menjadi 7, yaitu kecerdasan linguistik, musikal, logis-matematis, spasial, kinestetik, interpersonal dan intrapersonal. Mungkin guru tidak memahami dimana kecenderungan kecerdasan anak-anaknya. Vonis bodoh atau pintar untuk seorang anak bisa berdampak buruk terhadap perkembangan psikologis mereka. Pandai atau bodoh menurut siapa, dan parameternya apa. Jadi bkan bodoh atau pintar, melainkan masing-masing anak meiliki potensi kecerdasan yang berbeda, oleh karena itu guru harus berperilaku arif terhadap semua anak-anak. (Sujono Samba, 2007)
Keseluruhan materi bidang studi tersebut sebagian besar terlalu abstrak, tidak kontekstual, tidak sesuai dengan kebutuhan belajar anak-anak, useless, tidak sesuai dengan kompetensi yang ada di dalam diri mereka, dan tidak digunakan dalam kehidupan anak-anak di masa yang akan datang. Paradigma pendidikan Indonesia dulu dan sekarang, hanya menekankan seseorang untuk menjadi pegawai atau karyawan. Memiliki gelar tinggi-tinggi hanya untuk mencari pekerjaan, bukan untuk mandiri dengan menjadi enterpreneur, misalnya. Sehingga ijasah menjadi satu-satunya tujuan seorang anak-anak untuk belajar, yang selanjutnya menumbuhkan keyakinan bahwa jika sudah memiliki ijasah tidak perlu belajar lagi.
Pahami dan yakini bahwa setiap anak-anak adalah manusia unik yang memiliki gaya belajar yang berbeda-beda. Bagaimana masing-masing anak-anak yang berbeda tersebut bisa menggunakan potensi uniknya dalam sebuah kerjasama dalam rangka mencapai tujuan yang lebih besar di luar dirinya.
Guru harus dapat mengetahui dengan jelas alasan mengapa seorang anak-anak memiliki perilaku (yang menurut guru) menyimpang. Guru  terbiasa berprasangka buruk terhadap anak-anaknya, yang selanjutnya terkadang menjatuhkan mental dan mematikan kreativitas anak-anak. Always ask WHY....?, sebelum bertindak lebih lanjut.


Daftar Pustaka:
Agus Sampurno, "Membuat Program Anti Bullying di Sekolah", November 2007. www.gurukreatif.wordpress.com
Alfie Kohn, "Jangan Pukul Aku, Paradigma baru Pola Pengasuhan Anak" , Mizan Learning Center, Juni- 2006.
AS. Neill, "Summerhill School", Serambi Juni - 2007
J.Drost, SJ, "Proses Pembelajaran sebagai Proses Pendidikan", Gramedia, 1999
Junifrius Gultom, "Kekerasan di Sekolah, Wajarkah?", Jurnal Program Magister Psikologi Terapan UI, November 2007.
Mary Griffith, "Belajar Tanpa Sekolah, Bagaimana Memanfaatkan seluruh dunia sebagai Ruang Kelas Anak Anda", Nuansa, Juni-2006
Maulia D. Kembara, M.Pd, "Panduan Lengkap Home Schooling", Progressio Agustus – 2007
Mulyasa, 2005. "Menjadi Guru Profesional". Bandung: Remaja Rosdakarya
Raka Arie Rachmadi, "An Article About Bullying", www.rumahradel.blogspot.com , Desember-2007
Riauskina, I. I., Djuwita, R., dan Soesetio, S. R. (2005). ”Gencet-gencetan” di mata peserta didik/siswi kelas 1 SMA: Naskah kognitif tentang arti, skenario, dan dampak ”gencet-gencetan”. Jurnal Psikologi Sosial, 12 (01), 1 – 13
Ronnie M. Dani, 2005. "Seni Mengajar dengan Hati" Jakarta: Alex Media Komputindo.
Rustantiningsih, "Sikap dan Perilaku Guru yang Profesional", artikel portal www.duniaguru.com  , desember 2007
R. Tantiningsih, 2005. "Guru Cengkiling dan Amoral" Koran Harian Sore Wawasan. 14 Mei 2005.
Sujono Samba, "Lebih Baik Tidak Sekolah" , Pelangi Aksara, Yogyakarta, Januari 2007

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Menjadi Instruktur

Pengalaman berikutnya sejak pandemi tepatnya mulai 13 Oktober 2020, saya diajak mas Aye - menjadi instruktur pengajar praktik guru penggerak...