Senin, 14 Maret 2011

[KLIPING] Kriteria Sekolah Berkualitas : Sebuah Refleksi Hasil Perbincangan dengan Bapak Lody Paat

Oleh Dhitta Puti Sarasvati

Sumber: http://edukasi.kompasiana.com/2011/03/13/kriteria-sekolah-berkualitas-sebuah-refleksi-hasil-perbincangan-dengan-bapak-lody-paat/

Malam itu (8/3/2011), perbincangan saya dengan Lody Paat, salah seorang dosen di Universitas Negeri Jakarta (UNJ) memberikan saya pencerahan. Di sebuah area di UNJ, saya, Pak Lody, dan dua orang teman saya melakukan perbincangan mengenai berbagai isu pendidikan. Yang mencerahkan adalah saat Pak Lody menceritakan definisi mengenai sekolah berkualitas yang dikutipnya dari pernyataan Prof Soedjatmoko yang disampaikan di IKIP Jakarta pada tahun 80-an.
“Tapi saya modifikasi sedikit,” kata Pak Lody.
Pak Lody pun memaparkan bahwa menurut Soedjatmoko,  jantung hati untuk sekolah yang berkualitas ada tiga. Jantung hati di sini maksudnya adalah kriteria-kriteria yang esensial untuk sekolah yang berkualitas. Yang pertama adalah perpustakaan, laboratorium, dan interaksi. Yang dimaksud dengan adanya interaksi di sini adalah adanya relasi antara murid dan guru, relasi antara guru dan orang tua, relasi antara murid dan orang tua , dan yang tak kalah pentingnya adalah relasi antara semua pihak sekolah (baik guru maupun murid) dengan pengetahuan.
Menurut Wikipedia, sebuah perpustakaan (library) didefinisikan sebagai berikut :
A library is a collection of sources, resources, and services, and the structure in which it is housed; it is organized for use and maintained by a public body, an institution, or a private individual. In the more traditional sense, a library is a collection of books. It can mean the collection itself, the building or room that houses such a collection, or both. The term “library” has itself acquired a secondary meaning: “a collection of useful material for common use.
Sebuah perpustakaan adalah koleksi sumber-sumber (sources dan resources – ada yang tahu perbedaannya?), dan layanan, dan struktur yang berada dalam suatu ‘bangunan’ [tertentu]; [perpustakaan] diorganisasikan untuk digunakan dan dijaga oleh suatu badan public, sebuah institusi, atau oleh individu. Menurut sense yang lebih tradisional, sebuah pepustakaan merupakan koleksi sejumlah buku. Artinya bisa koleksi itu sendiri, gedung atau ruangan dimana sebuah rumah menyimpak koleksi tersebut, atau keduanya. Istilah ‘perpustakaan’ sendiri memiliki arti lainnya : “sebuah koleksi material yang bermanfaat untuk common use (kegunaan umum — apakah tepat istilah ini?).


Perpustakaan tentu menjadi jantung hati sebuah sekolah yang berkualitas. Untuk tulisan ini, definisi perpustakaan adalah sebuah ruangan berisi koleksi buku ataupun sumber informasi lainnya, termasuk majalah, koran, film, CD, dan internet. Sumber-sumber informasi ini dapat digunakan siswa untuk membaca dan mencari informasi.
Apalah sebuah sekolah tanpa siswa yang membaca? Berbincang-bincang mengenai perpustakaan, khususnya mengenai bagaimana perpustakaan merupakan sumber buku. saya jadi mengingat cerita seorang teman saya, seorang guru di sebuah SD di Bandung. Di sekolahnya, kemampuan membaca, kemampuan mencari informasi melalui berbagai teks tertulis merupakan sebuah skil dasar. Di sekolahnya, siswa sengaja tidak diperkenalkan pada internet (terutama di sekolah), sebelum siswanya mempunyai kemampuan dasar untuk mencari informasi dan pengetahuan di perpustakaan, khususnya melalui buku.

“Bukannya mengesampingkan internet yah, tetapi di sekolah kami percaya bahwa kemampuan mencari informasi di perpustakaan dan kemampuan untuk mengolahnya menjadi pengetahuan merupakan skil dasar. Mereka harus mempunyai keterampilan ini terlebih dahulu. Nanti kalau sudah kuat dasarnya, baru diperkenalkan pada internet.”
Pandangan tersebut didasari asumsi bahwa ketika siswa mahir mencari informasi yang dibutuhkannya melalui buku, maka dengan mudahnya keterampilan ini akan diterapkan dengan tool yang lain, ICT misalnya. Mungkin pandangan ini ada benarnya. Orang-orang yang saya kenal pandai mencari informasi melalui buku, saat mengenal ICT, biasanya lebih cepat belajar bagaimana memanfaatkan ICT untuk mengolah informasi yang diperolehnya menjadi pengetahuan. Di sisi lain saya juga menemukan orang-orang yang hanya menjadi konsumen ICT. Contoh yang paling menohok hati saya, adalah saat seorang guru meminta sayauntuk menyediakan CD pembelajaran jadi untuk menerangkan materi di kelas. “IGI tolong sediakan CD untuk mengajar materi X lengkap sampai evaluasinya yah! Yang bisa selesai dalam satu jam pelajaran,“ ungkap seorang guru ke saya saat suatu pelatihan. Saat saya mengajaknya membuat simulasi sendiri (dan mengajak siswanya membuat simulasi sendiri), atau mengusulkan agar ia mengajak siswanya mencari informasi dari lingkungan sekitarnya dan menguploadnya dalam bentuk blog, katanya, “Tidak ada waktu dan tidak sesuai SK/KD”.
Penggunaan ICT tanpa mengutamakan kemampuan mengolah informasi menurut saya tidak ada gunanya. Kita hanya akan menjadi konsumen ICT. Membeli segala perlengkapan ICT yang canggih tanpa memfungsikannya untuk mengolah informasi menjadi pengetahuan. Bukan penggunaan ICT yang esensial. Yang esensial adalah bahwa siswa-siswa kita memiliki information literacy yang didefinisikan dalam http://www.webs.uidaho.edu/info_literacy/ sebagai berikut :
Information literacy is the ability to identify what information is needed, understand how the information is organized, identify the best sources of information for a given need, locate those sources, evaluate the sources critically, and share that information. It is the knowledge of commonly used research techniques.
(Information literacy adalalah kemampuan untuk mengidentifikasi informasi apa yang dibutuhkan, memahami bagaimana informasi diorganisasikan, mengidentifikasi sumber informasi yang paling diperlukan untuk kebutuhan tertentu, menemukan sumber-sumber tersebut, mengevaluasi sumber-sumber tersebut secara kritis, dan membagikan informasi tersebut. Itulah pengetahuan yang biasa digunakan dalam berbagai teknik penelitian)
Alat yang digunakan oleh siswa untuk menndapatkan dan mengolah informasi bisa bersumber dari mana saja, buku, majalah, media massa, internet, bahkan tak kalah pentingnya lingkungan sekitar. Salah satu tujuan siswa belajar di sekolah agar mereka bisa memiliki information literacy. Untuk memiliki kemampiuan ini, tentunya siswa harus terakses dengan sumber informasi. Dan sumber informasi tersebut ada di perpustakaan. Maka, tidaklah salah apabila dikatakan bahwa perpustakaan adalah salah satu jantung hati sebuah sekolah yang berkualitas.
Bukan hanya perpustakaan, sebuah sekolah yang berkualitas juga harus memiliki laboratorium. “Bukan hanya laboratorium dalam artian fisik kan maksudnya?” Tanya saya pada Pak Lody saat sedang berdiskusi.
“Tentu saja bukan,” katanya. Dari diskusi kami, saya menyimpulkan bahwa sebuah laboratorium adalah sebuah tempat yang digunakan untuk praktek, bereksplorasi, bereksperimen, dan meneliti. Tentu termasuk diantaranya adalah laboratorium fisika, laboratorium biologi, laboratorium bahasa yang ada di sekolah. Selain itu, tentu juga lingkungan di sekitar kita juga bisa menjadi suatu laboratorium. Selama kita bisa memanfaatkan lingkungan sekitar kita untuk melakukan praktek, bereksperimen, dan meneliti, maka lingkungan sekitar kita adalah sebuah laboratorium yang kaya untuk pembelajaran. Saya jadi ingat bahwa Indonesia merupakan salah satu negara yang begitu kaya dengan sumber daya alam dan juga budaya. Seluruh negara kita adalah salah satu laboratorium yang sangat besar. Kita tinggal belajar padanya. Saya jadi ingat teman saya, seorang antropolog dari Jerman mengatakan bahwa dia senang sekali berada di Indonesia karena begitu banyak yang bisa dipelajari karena begitu kaya dengan keanekaragaman budaya dan situasi sosial. Mudah-mudahan bangsa kita menyadari kekayaan ini dan belajar darinya, laboratorium ‘alami’ kita, negara Indonesia. Sebuah laboratorium, apapun bentuknya adalah esensial dalam menentukan sebuah sekolah berkualitas atau tidak. Bukan hanya dalam artian fisik tetapi juga wadah di mana siswa-siswa kita bebas praktek, bereksplorasi, berkesperimen, dan meneliti. Selama sebuah sekolah belum membiarkan proses ini terjadi, maka sekolah tersebut belumlah menjadi sekolah yang berkualitas.
Yang paling utama dari sebuah sekolah yang berkualitas adalah adanya relasi [yang baik]. Relasi di sini dibagi menjadi empat (1) relasi antara siswa dan guru; (2) relasi antara guru dan orang tua; (3) relasi antara siswa dan orang tua; dan (4) relasi seluruh masyarakat sekolah dengan pengetahuan.
Banyak guru yang saya temui sudah memiliki relasi yang baik dengan siswanya. Saya ingat, seorang guru bernama Sri Rahayu yang mengajar di Sumatra Utara dengan panjang lebar bisa menuliskan relasinya dengan berbagai siswanya, termasuk bagaimana siswanya sering berkonsultasi padanya di luar jam pelajaran. Seorang guru yang saya kagumi, bernama Nina Soeparno juga selalu saja teringat pada muridnya. Saya pernah mengirimkannya resep makanan, lagu, tulisan, dan lain-lain. Jawabannya selalu, “Wah ini bagus sekali untuk murid saya.” Banyak juga guru yang saya kenang jasanya karena telah membangun relasi yang baik dengan saya, sebagai muridnya. Mereka memperlakukan saya selayaknya manusia, salah satu cerita yang paling berkesan di hati saya pernah saya tuliskan dalam tulisan “Guru Meninggalkan Kesan yang Mendalam Meski dengan Cara yang Sederhana.” Tak terhitung jumlah guru-guru yang saya kagumi yang memiliki relasi yang baik dengan muridnya. Dan inilah salah satu cirri sekolah yang berkualitas.
Sekolah yang berkualitas juga memiliki relasi yang baik antara guru dengan orang tua. Saya jadi ingat seorang teman saya yang sengaja menyalakan telepon genggamnya selama 24 jam. “Agar murid dan orang tua bisa menghubungi saya kapan saja,” katanya. Salah satu sekolah yang paling mengagumkan yang pernah saya kunjungi adalah Sururon di Garut. Di sana, setiap Jumat sore, para guru, perwakilan murid, orang tua, dan masyarakat berkumpul untuk membahas usulan-usulan untuk perbaikan sekolah (dan sistem sekolah) serta masukan-masukan lainnya untuk kepentingan bersama. Mereka duduk melingkar dengan santainya di atas tikar sambil meminum teh dan pisang goreng. Saya, orang yang biasa dibesarkan di kota besar tidak pernah seumur hidup menemukan pemandangan seperti itu. “Persis seperti di pelajaran PKn,” pikir saya. Saat itu pertama kalinya saya merasakan suasana musyawarah yang benar-benar berkesan. Sekolah yang mampu membangun relasi yang baik dengan orang tua (bahkan masyarakat) seperti itu telah memenuhi salah satu ciri sekolah yang berkualitas.
Tentunya agar siswa memperoleh proses pendidikan yang lebih lengkap, ia juga harus memiliki relasi yang baik dengan orang tua. Untuk itulah sekolah yang baik biasanya juga menyelenggarakan berbagai kegiatan untuk mendidik orang tua, termasuk diantaranya kelas parenting. Ini agar siswa memperoleh situasi yang kondusif untuk mengembangkan diri (well being-nya) baik di sekolah maupun di rumah.

Salah satu kriteria yang sangat penting untuk menandakan apakah sebuah sekolah berkualitas adalah adanya relasi yang baik antara seluruh warga sekolah dengan pengetahuan. Saat membahas ini saya bercerita pada Pak Lody bahwa ada satu masa di dalam hidup saya (kira-kira 2 tahun yang lalu) di mana untuk pertama kalinya rasa ingin tahu saya membuat saya begitu sulit untuk tidur. Ide-ide terus bermunculan di kepala, hingga bahkan untuk beristirahat sulit. Rasanya penasaran, ingin belajar dan ingin belajar lagi. Saya tanyakan pada Pak Lody, “Apakah guru-guru juga merasakan hal yang sejenis?”
Pak Lody langsung berkata, “Itu yang saya maksud berelasi dengan pengetahuan.” Selama diskusi kami sepakat, bahwa setiap guru memang harus memiliki metode tertentu agar siswa bisa belajar dengan baik. Seperti yang diungkapkan oleh Hebart Ward dan Frank Rosco yang dikutip dari buku Mass Media and Methods of Education karya A.X Bukhari , 2006 ‘Every teacher and educationist of experience knows that even the best curriculum and the most perfect syllabus remain dead unless quickened into life by the right methods of teacheing and the right kind of teachers’. Namun, patut diingat bahwa untuk bisa memiliki metode yang baik, seorang guru harus terlebih dahulu dengan pengetahuan. Kalau seorang guru matematika misalnya mau mengajarkan matematika dengan menyenangkan, pertama iya harus memiliki relasi yang baik dengan matematika. Ia bisa menceritakan matematika dengan mata yang berbinar-binar seolah-olah matematika adalah hal yang paling menyenangkan di dunia. Yang membedakannya matematikawan dengan seorang guru matematika adalah bahwa seorang guru matematika harus kemudian belajar caranya agar passion-nya terhadap matematika bisa juga dirasakan oleh siswanya. Ia akan memikirkan ini baik-baik. Ia akan memikirkan siswa harus mulai belajar dari mana, metode apa yang harus digunakan, dan juga bagaimana meng-asses siswanya. Ini dilakukan agar siswanya, seperti dirinya memiliki relasi dengan pengetahuan. Saat guru, siswa, dan juga orang tua (meskipun tidak dibahas secara mendetail di sini) memiliki relasi dengan pengetahuan, berarti sekolah telah memiliki salah satu kriteria sekolah yang berkualitas.

Seperti yang diungkapkan sebelumnya, sekolah yang berkualitas adalah sekolah yang memiliki perpustakaan, laboratorium, dan interaksi atau tepatnya relasi antara murid dan guru, relasi antara guru dan orang tua, relasi antara murid dan orang tua ,dan relasi seluruh masyarakat sekolah dengan pengetahuan. Bagi saya definisi ini cukup holistik (meskipun akan lebih lengkap apabila ditambah relasi dengan masyarakat). Oleh karena itu, untuk tulisan-tulisan saya yang selanjutnya, saya akan mengacu definisi ini setiap kali saya menggunakan istilah ‘sekolah yang berkualitas’. Inilah working definition saya mengenai ‘sekolah yang berkualitas’. 
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Menjadi Instruktur

Pengalaman berikutnya sejak pandemi tepatnya mulai 13 Oktober 2020, saya diajak mas Aye - menjadi instruktur pengajar praktik guru penggerak...