Minggu, 20 Maret 2011

[KLIPING] Indonesia “Generasi Hafalan”

Oleh Slamet A Sjukur

Sumber : http://dgi-indonesia.com/indonesia-generasi-hafalan/

Dalam film ARTIFICIAL INTELLIGENCE, Spielberg menunjukkan robot-robot yang diprogram lebih manusiawi dari manusia, dan dihancurkan oleh manusia yang kodratnya lengkap (dengan plus dan minusnya). Tapi akhirnya dibela juga oleh manusia lain.
Sementara kurikulum kita selama ini memimpikan anak-anak kita menjadi ROBOT yang cerdas sempurna.
Ada orang-orang pintar berhati mulya yang menganjurkan menjadi manusia seutuhnya, suatu anjuran penuh dengan kesungguhan yang sangat mengharukan, tapi tidak tahu bagaimana menyusun strategi operasional yang diperlukan.
Perkara niat baik, kita tidak berkekurangan, begitu pula jumlah peraturan, apa saja ada, bahkan secara nyata potensi alam Indonesia sangat luar biasa jika dibandingkan dengan yang ada di negara-negara lain.
Tapi mengapa kita miskin, baik lahir maupun batin?

Menurut dr.H.Taufik Pasiak, M.Pd., konon didalam pameran “Otak-Otak se-Dunia” banyak pengunjung yang tertarik otak Indonesia yang diyakini lebih unggul dari otak Jepang, karena keadaannya masih murni, bersih dan segar, sebab jarang dipakai (1)

Di luar dugaan, ada penemuan mutakhir yang sangat penting, meyakinkan dan membesarkan hati. Meyakinkan karena merupakan hasil dari kerja keras puluhan tahun dua orang yang bermartabat ilmuwan, bukan orang partai atau DPR.

Dalam bukunya yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, Robert Dick-Read akhirnya yakin bahwa yang pertama mengarungi samudra bukan Bartholomeo Diaz (Portugis), bukan Colombus yang kesasar ke benua Amerika, bahkan bukan Cheng Ho (Tiongkok). Pada abad-5 manusia-manusia dari Nusantara sudah bisa mencapai Afrika, membuka tambang emas di sana, juga menolong India membawakan dagangannya sampai ke Roma (2).

Prof. Arysio Santos, seorang Brasilia pakar geologi dan fisika nuklir, mengusut Atlantis, sebuah benua yang tenggelam yang diceritakan Plato, filosof Junani, dan kitab-kitab suci di seluruh dunia.
Ternyata keberadaan Atlantis betul-betul suatu fakta, bisa dilacak Santos secara ilmiah, dan dikuatkan  oleh hasil penelitian NOAA (National Oceanographic and Atmospheric Agency) dan penelitian dari satelit yang di lakukan NASA. Jadi bukan hanya dongeng fantasi seperti yang dikira sebelumnya

Atlantis, sebuah benua yang  pernah ada dan tenggelam karena bencana alam yang dahsat di jaman prasejarah. Sekitar 75.000 tahun yang silam, gunung api raksasa (dan ternyata gunung Toba di Sumatra) meletus, menyebabkan tsunami yang menenggelamkan sebuah benua. Dan masih dihantam lagi sekitar 11.600 tahun yang lalu oleh ledakan gunung berapi lain (gunung Krakatau, jauh sebelum ledakannya tahun 1883), yang mengakibatkan berakhirnya zaman es, karena gletser yang sudah berabad-abad itu mencair dan mengakibatkan naiknya permukaan samudra sampai sekitar 130 meter. Benua yang tenggelam itu menyisakan dataran-datarannya yang paling tinggi serta puncak gunung-gunung berapi.

Sisa itulah yang menjadi kepulauan Indonesia. Artinya benua Atlantis itu tidak lain dari bagian yang hilang dari Indonesia!


Artinya pula, Indonesia ternyata tempat lahirnya peradaban dunia. Mereka yang selamat dari katastrof prasejarah tersebut menjauh sampai ke Mesir dan tempat-tempat lain dengan membawa peradabannya (3).
Ini sangat membesarkan hati pada saat kita hampir putus asa melihat semakin merosotnya derajat bangsa kita karena ulah politik yang tidak berwawasan jauh dan akibatnya yang fatal terasa di semua bidang, termasuk pendidikan.

Kalau di awal kemerdekaan kita masih mengenal kejayaan sebagai pembangkit semangat Asia-Afrika, sampai-sampai Malaysia berguru pada kita, sekarang ini di pusat-pusat studi Indonesia di berbagai universitas di seluruh dunia, peminatnya menurun drastis dan bahkan nyaris ditutup. Indonesia sudah tidak punya daya tarik lagi.

Jangankan bagi dunia internasional, anak-anak kita saja tidak ada yang merasa bahagia.
Sistim pendidikan yang sok mencerdaskan bangsa, membuat sekolah terasa lebih sebagai hukuman daripada tempat yang menyenangkan, apalagi inspiratif.

Kurikulum yang begitu padat dan terlalu cerdas, tidak menyisakan waktu sedikitpun bagi anak-anak untuk menikmati ‘kekiniannya’ yang amat sangat tidak ternilai maknanya, dan sekali lewat tidak akan datang kembali, perampasan hak azasi atas waktu. Seluruh tenaga anak-anak diperas habis-habisan demi ‘masa-depan’ yang dibayangkan pembuat kebijaksanaan yang wawasannya sangat sempit.
Untunglah ada seorang Prof. Yohanes Surya PhD., ketua umum Tim Olympiade Fisika Indonesia, yang membuat anak-anak kita tiba-tiba punya rasa percaya diri yang tidak terduga.

Kita membutuhkan orang-orang kreatif seperti dia yang selalu tahu jalan keluar mengatasi situasi yang bagaimanapun. Kalau hanya orang pandai, jumlahnya sudah banyak sekali di antara kita, dan ternyata tidak ada gunanya, karena kepandaiannya sekadar hafalan atau kalau pun kreatif jurusnya manipulatif dan koruptif, bukan yang bermartabat keilmuan dan kemanusiaan.

Pendidikan kita dari SD sampai perguruan tinggi akhirnya hanya menghasilkan Generasi Hafalan dan Ahli Manipulasi, bukan manusia-manusia kreatif yang punya budi-pekerti.
Dari kenyataan itu kita harus punya kemauan untuk mengutamakan inti masalah: ‘kreativitas yang memulyakan manusia’ dan disamping itu punya keberanian menundukkan ‘peraturan dan prosedur’ agar tahu diri,  dan sekaligus memberdayakan manusia.

Ini masalah kesehatan-mental yang selama ini diabaikan sama sekali demi pembangunan yang hanya fisik.
Kita mesti menyadari perlunya segera memperbaiki kesalahan wawasan yang sangat materialistis ini. Hal-hal yang sifatnya non-fisik harus segera mendapat prioritas yang sungguh-sungguh.

Sebagai contoh, di Hungaria, sejak 1948, semua jenjang sekolah diwajibkan mendapat ‘pendidikan musik’. Musik sebagai bagian dari pendidikan bukan sekadar pelajaran, dan dilakukan dalam praktek paduan-suara.
Dengan paduan-suara ditanamkan ‘rasa-kebersamaan’ dan ‘percaya diri’, membina suara berarti pula ‘membina pernafasan’ yang langsung terkait dengan ‘jaringan berbagai saraf’ dan ‘metabolisme’. Pendengaran juga berfungsi sebagai pemasok energi yang diperlukan bagi berfungsinya otak. Musik selain memberi santapan emosional, juga merupakan jalur logika-intuitif yang periferik yang disediakan otak kanan, berbeda dari logika linier yang menjadi ciri otak sebelah kiri.

Pendidikan musik di Indonesia ?
Sudah menjadi citra umum bahwa musik tidak lebih dari sekadar hiburan, di ke-imigrasi-an tidak dikenal profesi pemusik, yang diakui hanya ‘penyanyi’, di kalangan musik sendiri ada anggapan bahwa aktivitas musik itu sebatas ‘main musik’, karena mencipta musik itu urusan para jenius, suatu misteri yang tidak dapat diajarkan. Tapi ada biro hak cipta. Karena masalah bisnis, ada untung-rugi, lagi-lagi soal fulus !!
Di samping upaya-upaya non-formal, lembaga-lembaga perguruan tinggi seperti ISI (Institut Seni Indonesia)dan STSI (Sekolah Tinggi Seni Indobnesia) di mana-mana, bahkan UPI (Universitas Pendidikan Indonesia, di Bandung), ikut merawat musik tradisi sebagai tradisi yang hidup dan terus berkembang.
Lain halnya dengan ‘pelajaran’- musik barat di kursus-kursus, di sekolah-sekolah umum,  maupun di ISI, sifatnya masih ‘perkenalan’, belum menukik pada esensinya (kecuali di beberapa sekolah musik partikelir). Masih terlalu jauh untuk dibandingkan dengan apa yang sudah di capai di Jepang, Filipina, Tingkok, Taiwan dan Thailand. Malaysia pun nampaknya tidak lama lagi akan melaju mendahului Indonesia.

Dalam hal penciptaan karya musik, kalau kita hanya mengikuti jalur yang lazim ditempuh di negara-negara Eropah, kita akan terus tertinggal. Padahal itu bukan satu-satunya jalan. Kita bisa langsung menghadapi persoalan musik zaman kita sekarang ini yang juga sedang menjadi perhatian para komponis di mana-mana. Komponis- komponis itu justru seringkali mendaur ulang unsur-unsur yang sudah lama ada. Sprechgesang yang menjadi salah satu penemuan penting Schoenberg, sudah lama ada dalam tradisi musik drama (Jepang), Ligeti mendapat banyak inspirasi dari musik Pygmy di pedalam hutan di Afrika. Kenapa kita harus mengekor?

Secara ‘asongan’ dan sebisanya, saya menempuh jalan sepi yang tidak diminati aliran yang normal. Di sana-sisni saya mengajak orang-orang berbuat musik dengan sikap terbuka dan meninggalkan definisi-definisi yang sudah kadaluwarsa. Tahun 1993 berhasil mendongkrak penduduk terpencil di Trawas (Jawa Timur) membuat karya kolektif yang luar biasa di tengah hutan dan disaksikan orang-orang yang datang khusus dari Surabaya, Malang, Yogya, Bandung dan Jakarta. Tahun 2003, dengan bantuan Jak@rt Festival, mengajak 100 ABG berbuat musik yang sekaligus sangat sederhana dan rumit sekali, instrumennya hanya kentongan dan sebagian besar dari anak-anak pemulung yang tinggal di Bantargebang. Itu hanya dua contoh diantara berbagai upaya lain.

Kepada yang penuh kesungguhan, secara privat saya mengajar  piano (lebih pada masalah interpretasi dari hanya teknik), harmoni, kontrapung, instrumentasi, orkestrasi, komposisi dan analisa. Semuanya ditekankan pada praktek, bukan teori. Juga praktek ‘mendengarkan secara aktif’, analisa auditiv dan kemampuan membayangkan bunyi partitur (tanpa pertolongan instrumen apapun).

Sebagai usaha mengimbangi banjirnya pemain (terutama piano), saya memasyarakatkan Pelatihan Kilat Membuat Kopmposisi Musik, seramah kursus-kursus masakan. Waktunya hanya 4 hari berturut-turut, setiap harinya 2 jam, dalam kelompok 3-5 orang, dan tanpa PR.  Menjadi komponis sama mudahnya dengan membuat telor mata-sapi.

Peminatnya banyak, dengan latar belakang berbeda-beda, ada yang belum berpengalaman sama sekali, tapi tidak sedikit yang sudah belajar di sekolah musik (dan di luar negeri).

Hari-1
Diutamakan daya-ingat, kemudian baru notasi.
CATATAN TERTULIS membantu mengingat, tapi sekaligus melemahkan kemampuan mengingat.
1.
Diperdengarkan TEPUKAN TANGAN,
berkali-kali-kali-kali dan cepat sekali.
Tidak diberi kesempatan berfikir.
Seorang peserta diminta menirukan, biasanya betul,
sekalipun tidak tahu berapa kali jumlah tepukannya.
Para peserta lainnya diminta menilai betul atau salah,
biasanya merekapun tidak keliru menilai,
sekalipun mereka sendiri juga tidak tahu jumlah tepukannya.
Ternyata tubuh kita punya kecerdasan dan daya ingat
lebih cepat dari ‘kemampuan untuk mengerti’
Secara bergiliran, latihan ini diterapkan pada setiap peserta.
2.
KETUKAN DI MEJA
dengan Pergelangan tangan dan Ujung tangan (jari merapat).
P mengetuk dengan arah menjauhi tubuh;
U mengetuk dengan arah mendekati tubuh.
Latihan menirukan dengan dua tangan bergantian.
Cukup lambat P-U-P-U dst//  P-U-P-P-U-P-U//  U-P-U-P-P-U-P//dsb.
Bergantian: Pelatih > Peserta (semua bersama-sama).
Latihan setiap peserta bergilir:
- tangan yang satu menirukan yang lain.
- salah satu tangan menirukan yang lain, dengan urutan terbalik.
Latihan P+U+ritme berbeda-beda.
Setiap peserta mendapat giliran.
Latihannya seperti pada no. 1 (melakukan/menilai).
3.
Vokal: TIGA KETINGGIAN NADA (tinggi, rendah, tengah)
Ketepatan tingginya, tidak diutamakan.
Diperdengarkan cepat sekali tanpa ritme
‘permainan 3 nada’ yang tidak terlalu panjang.
Latihannya seperti no. 1 (melakukan/menilai)
4.
NOTASI.
Dipersilahkan mencari cara menulis yang jelas dan cepat.
Baru sesudah itu ditunjukkan:
/=P   .=U
posisi ‘titik’ (atas/bawah/tengah) = ketinggian nada.
jarak antara tanda-tanda (rapat/renggang) = ritme.
Hari-2
Diutamakan kreativitas, kemudian baru analisa kritis.
Seorang peserta dipersilahkan bebas membuat komposisi.
Komposisi ritme dengan P+U kedua tangan
Yang lain mendengarkannya dengan perasaan TERLIBAT.
Kemudian dibicarakan bersama.
Dicarikan berbagai solusinya. Tidak ada satu solusi yang mutlak.
Bagaimana membuat lagu IBU KITA KARTINI
menjadi sulit dikenali,
tanpa merubah urutan nada-nada melodinya?
Masing-masing peserta berusaha melakukannya.
Apa ‘dosa’ lagu BINTANG KECIL?
INDONESIA RAYA?
Hari-3
BERKARYA-1 *)
Masing-masing berkarya,
bebas (cara+materi bunyi) tapi harus dapat mengulanginya.
Dan disaksikan oleh yang lain dengan PENUH KETERLIBATAN.
a. masalah awal;
b. masalah kelanjutannya;
c. masalah mengakhirinya.
Prinsip PENCOPET: efisiensi waktu+ketepatan saat+selamat.
Selamat = indah.
*) Ketika saya ajarkan di ISI-Surakarta dan di UPI,
KARYA-SEPENDEK MUNGKIN durasinya tidak boleh lebih dari 12 detik.
KANON-RITME
oleh dua tangan;
l   l   l   l   l   l   l   l   l   l   l   l   l   l   l   l   l   l   l   l   l   l   l   l
.   .   .      .   . . .       . . .   .      .   .. ..      .   . , .       .   .. ..        ~
.   .   .       .   . . .      . . .   .      .. ..   .       . . .   .        ~
Hari-4
B E R K A R Y A-2 **)
Masing-masing berkarya dengan prinsip CINTA ABADI:
durasi sepanjang mungkin
tapi tidak boleh ada sesaatpun yang membosankan.
Caranya?
Dicari dengan rasa dan ketekunan.

**) Ketika saya ajarkan di ISI-Surakarta dan di UPI,

KARYA SEPANJANG MUNGKIN durasinya minimal 20 menit.

Menjadi komponis sama mudahnya dengan membuat telor mata-sapi. Dan semua tahu bahwa dalam 4 hari tidak mungkin menghasilkan karya seperti THE RITE OF SPRING – Strawinsky.
Yang penting, membangkitkan kembali kecerdasan dan daya-ingat tubuh yang selama ini disingkirkan oleh keangkuhan rasional.

Ilmu dan teknologi yang semakin rumit, merampas kemampuan kita menyentuh ‘kebenaran yang bersahaja’. Bukan salahnya ilmu dan teknologi, melainkan karena ketidak-siapan kita sendiri memanfaatkan keluar-biasaan yang ditawarkannya kepada kita

Musik ada di mana-mana, tidak hanya terbatas yang ada di gedung pertunjukan saja. Angin, gemerisik dedaunan, kicau burung, hujan, petir, kendaraan di jalan, kucing kawin dsb… Tinggal tergantung pada kepedulian dan kepekaan kita saja untuk bisa menangkap semua itu sebagai musik atau tidak.
Musik dalam pengertian yang konvensional pun tidak akan berbicara apa-apa kepada yang tidak punya kepedulian terhadapnya.

Sesungguhnya tidak ada manusia yang tidak tertarik pada musik, menurut Zoltan Kodaly, seorang komponis dan pendidik musik Hungaria.

Kita lebih dulu mendengar, baru kemudian melihat. Di dalam janin, organ pendengaran termasuk yang cepat sempurna. Dengan sarana itu, melalui cairan di sekitarnya, si janin dapat merasakan adanya dunia di luar dirinya. Dan nanti waktu dia sudah menjalani hidup di luar, dan sampai pada saatnya terakhir, ketika tubuhnya sudah tidak berdaya lagi, hanya pendengarannya saja yang masih menghubungkannya dengan dunia yang dikenalnya selama itu, dunia yang sebentar lagi akan ditinggalkan selamanya. Saat menghadapi sekaratul maut, ada tradisi membisikkan pesan yang memberi kekuatan menghadapi alam tanpa dimensi.

Vibrasi yang menjadi unsur utama musik, tidak lepas dari masalah resonan atau simpati, dan bunyi tidak hanya masuk melalui telinga, tapi juga melalui setiap pori-pori kulit dan bergaung di dalam tulang-tulang. Musik juga tidak terpisahkan dari rasa.

Di mana batas antara yang fisik dan non-fisik ?
Bunyi yang tidak kasat mata, kalau sudah sampai pada titik ‘sauti-sarmad’, luput dari batasan. Kita hanya terkenang pada ‘hu’yang menjadi awal dan akhir bunyi.
Secara ringkas, sistim pendidikan perlu menekankan:

1.PENDIDIKAN SALING MENGHORMATI
1.1. yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari di rumah, di jalan, di sekolah dan di mana pun;
1.2. yang berkaitan dengan kehidupan (binatang, tetumbuhan) dan lingkungan;
1.3. yang berkaitan dengan kepercayaan spiritual.
2. PENDIDIKAN BUDAYA-MAJEMUK
Hubungan fungsional antara geografi, iklim dan komunitas.
3. PENDIDIKAN KESENIAN
Imajinasi sebagai kepedulian.
Kepekaan-rasa di luar jalur logika-linier.
4. PENDIDIKAN LOGIKA
Matematika sebagai sarana menyelami dua dunia—
- yang bisa diukur;
- yang nyaris tidak bisa diukur (seperti Stephen Hawking sudah merancang sikap yang diperlukan dalam menghadapi Aliens,
bahkan Arthur Koestler sudah lebih dulu merasakan fenomen ESP dalam fisika moderen).
5. PENDIDIKAN (bukan sekadar “pelajaran”) PENGETAHUAN KHUSUS
5.1. Olah-raga;
5.2. Bahasa;
5.3. Sejarah;
5.4. Hayat; Kimia, Fisika, Geografi. . . . . dsb.
Intinya:
  1. Bagaimana kita menjadi bagian penduduk dunia yang setara dan punya jati-diri;
  2. Bagaimana punya peran aktif dalam kebersamaan memulyakan kehidupan.
Atau?
Siapkah kita sekadar menjadi ‘robot super canggih’?
Dan mengiranya sebagai penjelmaan ‘manusia Atlantis’?

Jakarta, 6 Juni 2010

Sumber
(1) RAKSASA TIDUR – dr. H. Taufik Pasiak, M.Pd. ; tentang neurologi, jaringan saraf yang berpusat di otak, penerbit Gramedia Pustaka Utama 2004, ISBN 979-22-0711-2.
(2) PENJELAJAH BAHARI – Robert D. Read, penerbit Mizan 2008, ISBN 978-979-433-506-2.
(3) ATLANTIS – Prof. Dr. Arysio Santos, PT. Ufuk Press 2010, ISBN 978-602-8224-62-8.
Buku-buku penting lainnya:
1. Pendidikan Musik, antara harapan dan realitas
Dieter Mack (UPI/MSPI:2001/ISBN 979-95773-04-06)
Pengamatan di lapangan oleh seorang pakar.
2. Perjalanan Kesenian Indonesia Sejak Kemerdekaan
Philip Yampolsky (Equinox:2006/ISBN 979-3780-17-7)
Kesaksian dan pengalaman para seniman.
3. Music makes a difference
Ilona Barkóczi + Csaba Pléh (Zoltán Kodály Pedagogical Institute of Music, Kecskemét, 1982/ ISBN…..)
Musik sebagai sarana pendidikan yang menyeluruh.
4. Teaching of Polyphony, Harmony, and Form
In Elementary School
Ildikó Herboly-Kocsár (Zoltán Kodály Pedagogical Institut of Music, Kesckemét 1984, ISBN 963 01 5727 6)
Pengajaran logika intuitif dengan musik untuk sekolah dasar.
5. GÖDEL, ESCHER, BACH
An Eternal Golden Braid
Douglas R.Hofstadter (Penguin Books, 20th –anniversary edition 2000 ISBN 0-14-028920-8)
Matematik, Grafik, Musik.
6. Dimensi-mistik Musik dan Bunyi
Hazrat Inayat Khan (Pustaka Sufi: 2002/ISBN 979-95978-54-4)
Musik melampaui batas materi.
7. Superlearning 2000
S. Ostrander+L. Schroeder+N. Ostrander (A Dell Book: 1994/ISBN 0-440-22388-1)
Teknik belajar yang tepat dan cepat.
8. Weapons of Chess
Bruce Pandolfini (Fireside:1989/ISBN 0-671-65972-3)
Berfikir strategis dan taktik
9. Incredible Coincidence-Alan Vaughan (Ballantine Books:1989/ISBN O-345-35972-0)
Keterkaitan antara hal-hal yang nampaknya kebetulan.
1. PATCH ADAMS
Kisah inspiratif seorang dokter eksentrik.
- Patch Adams M.D.+Maureen Mylander (Penerbit B-First, 2008/ ISBN 978-979-24-3827-7)

Perlunya memanusiakan kembali kedokteran.

Slamet Abdul Sjukur

Sumber foto: Slamet A Sjukur

PENGALAMAN, a.l.

2010:    Dengan dukungan Akademi Jakarta dan Dewan Kesenian Jakarta, bersama para pakar THT, Akustik dan sejumlah aktivis, mendirikan MASYARAKAT BEBAS-BISING.
2006-09: Dosen Pascasarjana UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA, Bandung.
2001-06: Dosen Pascasarjana INSTITUT SENI INDONESIA, Surakarta.
2000- ~ : Anggota AKADEMI JAKARTA.
1981-83: Dekan Fakultas Musik INSTITUT KESENIAN JAKARTA.
1976-87: Dosen IKJ (Harmoni, Kontrapung, Analisa dan Komposisi).
1962-76: Tinggal di Paris; Belajar di Conservatoire National Superieur de Musique de Paris (Chambure dan Messiaen), Ecole Normale de Musique de Paris (Gentil, Dandelot dan Dutilleux) dan Groupe de Recherches Musicales O.R.T.F. (Schaeffer).
1957:     Pendiri PERTEMUAN MUSIK SURABAYA (berdiri selama 25 tahun s/d 1982 dengan anggota 1300 orang bangkit kembali sejak 2006- ….).
KARYA-KARYA MUSIK

Dilindungi Badan Hak Cipta Perancis SACEM sejak 1968.
Disimpan di SACEM (Société d’Auteurs, Compositeurs et Editeurs de la Musique, Paris), CDMC (Centre de Documentation de la Musique Contemporaine, Paris), RTF (Radio et Télévision Française, Paris), ARION (Paris), WERELD OMROEP (Radio Belanda, Hilversum), AMERICAN GAMELAN INSTITUTE (California)
PENGHARGAAN a.l.
2000: Officier de l’Ordre des Arts et des Letters (Perancis).
1998: Millenium Hall of Fame (American Biographical Institute).
1996: Pioneer of Alternative Music (GATRA magazine, Jakarta).
1983: Médaille Commémoratif Zoltan Kodaly (Hungaria).
1975: Golden Record of Academie Charles Cros (Perancis).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Menjadi Instruktur

Pengalaman berikutnya sejak pandemi tepatnya mulai 13 Oktober 2020, saya diajak mas Aye - menjadi instruktur pengajar praktik guru penggerak...